Kapitalisme dan Eksploitasi Lansia: Antara Retorika Pemberdayaan dan Realitas Penindasan
Dalam beberapa tahun terakhir, ada fenomena yang semakin sering diberitakan mengenai lansia yang tetap bekerja, dengan narasi yang kerap kali positif.Â
Sebuah contoh mencolok muncul dalam liputan media tentang kafe di Jakarta yang mempekerjakan lansia, dengan sorotan yang mengangkat pemberdayaan mereka.Â
Nada pemberitaan ini seolah menampilkan lansia yang masih mampu berkontribusi sebagai suatu hal yang positif dan menginspirasi, bahkan dianggap sebagai simbol dari ketahanan, resiliensi dan produktifitas.Â
Namun, di balik retorika tersebut, terdapat pertanyaan mendasar tentang apakah fenomena ini benar-benar mencerminkan pemberdayaan atau justru bentuk lain dari eksploitasi dalam sistem kapitalisme yang semakin masif di era modern?Â
Lansia Bekerja: Eksploitasi yang Disamarkan sebagai Pemberdayaan
Kapitalisme selalu lihai dalam memanfaatkan narasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik. Dalam hal ini, bekerja di usia lanjut kerap kali dikemas dalam istilah-istilah seperti "pemberdayaan" atau "kesempatan untuk tetap produktif."Â
Di balik narasi positif ini, kita perlu bertanya: mengapa lansia yang seharusnya menikmati masa pensiun dan ketenangan di hari tua, malah dipaksa untuk tetap bekerja? Apakah ini benar-benar karena mereka ingin, atau karena kebutuhan ekonomi yang tidak dapat dihindari?
Indonesia, seperti banyak negara lainnya, masih menghadapi tantangan besar dalam memastikan kesejahteraan lansia. Jaminan sosial yang terbatas dan pensiun yang tidak memadai sering kali memaksa orang tua untuk tetap bekerja di usia lanjut demi mengalas perut dan menunda agar tidak mati lebih cepat.Â
Dalam konteks ini, apa yang disebut "pemberdayaan" tampak lebih sebagai upaya untuk menutupi kenyataan pahit bahwa banyak lansia bekerja bukan karena pilihan, tetapi karena tidak ada alternatif lain.Â