Pilgub NTT, Kemiskinan dan Masalah Migrasi Tenaga Kerja
Mengulas tentang Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak lepas dari label tentang kemiskinan, fatalisme dan ketidakberdayaan. Stigma yang senantiasa melekat bahwa, NTT itu "Nasib Tidak Tentu", "Nanti Tuhan Tolong", dan "Nusa Tenggara Tertinggal", menjadi wacana dominan dalam diskursus dan praktik pembangunan.Â
Penyematan label tersebut memosisikan NTT bukan sebagai subjek yang mampu menentukan nasibnya sendiri, melainkan sebagai entitas pasif yang memerlukan "penyelamatan" dari pihak luar, terutama tangan-tangan dari Jakarta.
Sejak Orde Baru, proyek-proyek pembangunan datang silih berganti ke NTT, yang bertujuan untuk "membangkitkan" NTT dari ketertinggalan (Dale, 2013). Gelontoran anggaran untuk berbagai program percepatan pembangunan menjadi bagian dari strategi untuk "mengubah nasib" masyarakat NTT, dari yang tidak tentu menjadi tentu, dari tertinggal menjadi lepas landas (Neonbasu, 2016).Â
Ironisnya, meskipun anggaran pembangunan dan proyek-proyek besar telah membanjiri NTT, fenomena kemiskinan di NTT semakin tinggi sebesar 19,48% pada Maret 2024, yang kemudian membuat migrasi tenaga kerja dari NTT justru meningkat (Kompas.id, 2023).Â
Tidak aneh jika banyak anak muda dan kaum perempuan NTT yang terpaksa menjadi buruh migran di luar negeri. Menjual tenaga kerja mereka menjadi asisten rumah tangga, buruh perkebunan, pertambangan, tukang bangunan dan lainnya.Â
Namun, sebagian besar dari buruh migran NTT yang terbang dan berlayar ke luar negeri adalah non prosedural atau ilegal. Jamak ditemui melalui pemberitaan media bahwa, masyarakat NTT yang bekerja di luar negeri senantiasa berada dalam kondisi kerja tidak layak, ancaman keamanan kerja, kematian, maslah upah dan sejumlah masalah lainnya seperti perdagangan manusia.
Menggenapi pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, memperlihatkan bahwa penduduk yang 5,6 juta seringkali terjebak dalam lingkaran masalah yang tak berujung.Â
Merujuk data dari Kompas, antara tahun 2018 hingga 2022, sebanyak 516 pekerja migran Indonesia asal NTT meninggal di luar negeri, dengan 499 di antaranya merupakan pekerja migran ilegal.Â
Pada tahun 2023, angka kematian pekerja migran asal NTT masih terus bertambah. Dari Januari hingga November 2023, tercatat ada 118 pekerja migran ilegal asal NTT yang meninggal di luar negeri. Sebagian besar dari mereka berangkat tanpa mengikuti prosedur yang sah, dan mayoritas merupakan individu berpendidikan rendah.
Fakta ini mencerminkan masalah serius yang mendasari tingginya angka migrasi ilegal dari NTT. Sejumlah penelitian menunjukkan, masyarakat NTT sering kali meninggalkan kampung halaman karena tekanan ekonomi yang mengharuskan mereka mencari penghidupan di luar negeri. Minimnya akses terhadap sumber daya ekonomi seperti tanah, mendorong mereka untuk mencari kehidupan yang lebih baik meskipun risiko yang dihadapi sangat besar. Konsentrasi kepemilikan sumber daya ekonomi pada segelintir orang membuat kian banyak warga yang kehilangan akses pada kehidupan yang layak (Tolo, 2023).