Dalam pandangan sosial kritis, migrasi sering kali dipandang sebagai konsekuensi langsung dari ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme global. Sistem ini menciptakan ketimpangan produksi dan distribusi kekayaan di berbagai negara.Â
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sering kali mengalami masalah struktural seperti ketimpangan agraria, keterbatasan akses terhadap tanah, sumber daya, dan peluang ekonomi. Ketimpangan ini menciptakan kondisi di mana sebagian besar penduduk di pedesaan tidak memiliki akses ke lahan pertanian yang produktif atau pekerjaan yang layak di sektor lain, sehingga memaksa mereka mencari alternatif ekonomi di negara lain sebagai pekerja migran.
Ketimpangan agraria dilihat sebagai salah satu penyebab utama migrasi dari pedesaan ke negara-negara yang menawarkan pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik. Sektor pertanian di Indonesia, misalnya, mengalami masalah struktural akibat penguasaan tanah oleh segelintir elit atau perusahaan besar, sementara sebagian besar petani kecil hanya memiliki sedikit tanah untuk dikelola.Â
Selain ketimpang penguasaan lahan, kondisi berikutnya juga adalah krisis iklim dan lingkungan, yang turut menyebabkan rendahnya pendapatan di sektor agraria dan pertanian, sehingga banyak kelas pekerja pedesaan terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri, hanya sekedar untuk bertahan hidup, meskipun tanpa mengikuti prosedur resmi.
Selain itu, ketidakmampuan negara dalam memberikan layanan pendidikan yang memadai juga menjadi faktor yang memicu terjadinya migrasi non prosedural. Calon pekerja migran yang berasal dari daerah pedesaan sering kali tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar tenaga kerja formal, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap bujukan agen-agen perekrutan ilegal yang menawarkan pekerjaan di luar negeri tanpa melalui jalur resmi.
Penutup: Upaya Melindungi Pekerja Migran
Kompleksitas masalah migrasi non prosedural juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negara yang sering kali hanya bersifat regulatif dan kurang menyentuh akar masalah. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan untuk melindungi PMI, baik sebelum, selama, maupun setelah bekerja di luar negeri. Undang-Undang Pekerja Migran Indonesia (UU PMI) mencakup perlindungan hukum, sosial, dan ekonomi bagi pekerja migran.Â
Pemerintah, melalui kebijakan migrasi, sering kali hanya berfokus pada pengaturan visa, deportasi, dan pengawasan terhadap PMI di luar negeri, namun kurang memberikan perhatian pada penyebab struktural yang mendorong terjadinya migrasi ilegal. Tanpa mengatasi ketimpangan ekonomi di daerah pedesaan, serta memperbaiki sistem perekrutan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap agen-agen perekrutan ilegal, migrasi non prosedural akan terus berlangsung.
Pemerintah perlu mengatasi akar penyebab migrasi, seperti ketimpangan agraria, memperkuat regulasi perekrutan, serta memberikan perlindungan dan pendidikan yang lebih baik bagi calon pekerja migran. Dengan demikian, migrasi non prosedural dapat diminimalisir, dan hak-hak pekerja migran dapat lebih terlindungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H