Undang-Undang Pelayanan Publik: Alat Masyarakat dalam Menuntut Kewajiban NegaraÂ
Layanan publik di Indonesia telah lama menjadi subjek kritik tajam, sering kali ditandai dengan maraknya korupsi dan birokrasi yang lamban.Â
Idealisasinya bahwa pelayanan publik yang ideal seharusnya menjadi wujud nyata dari komitmen negara dalam melayani warganya dengan adil dan transparan. Namun, praktik yang terjadi sering kali menunjukkan sebaliknya.
Dalam banyak kasus, masyarakat justru dipaksa menghadapi pelayanan yang buruk, berbelit-belit, dan bahkan diskriminatif. Korupsi yang mengakar di berbagai lini birokrasi menambah kompleksitas masalah, membuat pelayanan publik menjadi ajang perburuan rente yang merugikan masyarakat luas.
Fenomena ini mencerminkan ketidakmampuan negara dalam memberikan layanan yang berkualitas kepada warganya, dan juga menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi publik.Â
Sungguh cukup mengejutkan, sebagaimana dikutip dari laman https://ombudsman.go.id, ditemukan beberapa keluhan utama terkait pelayanan publik. Keluhan paling banyak adalah persyaratan yang berbelit (11,4%), diikuti oleh pelayanan yang lambat (11,3%) dan kurang transparan (9,7%).Â
Selain itu, birokrasi yang rumit (9,3%), fasilitas yang tidak memadai (8,6%), biaya yang mahal (8,4%), serta pelayanan yang tidak sesuai (6,2%) juga menjadi perhatian.Â
Masalah lain yang disebutkan meliputi pungutan liar (4,8%), ketidakjelasan prosedur (3,8%), respons terhadap pengaduan yang lambat (3,6%), rendahnya kompetensi sumber daya manusia (3%), dan sikap pelayanan yang kurang ramah (2,7%). Sekitar 5,1% responden menyebutkan masalah lain, sementara 12,3% tidak tahu atau tidak memberikan jawaban (https://ombudsman.go.id, 2023).
Data yang diungkapkan Ombudsman RI tersebut menunjukkan bahwa masalah-masalah mendasar seperti birokrasi yang berbelit dan fasilitas yang tidak memadai masih menjadi hambatan utama bagi masyarakat dalam mengakses layanan publik yang efisien dan berkualitas, yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam reformasi birokrasi dan pelayanan publik yang seharusnya mengutamakan kemudahan dan kecepatan bagi warga negara.
Selain itu, fakta bahwa isu seperti pungutan liar dan rendahnya kompetensi sumber daya manusia masih muncul dalam survei ini menunjukkan adanya masalah integritas dan profesionalisme di kalangan aparatur negara. Kurangnya respons terhadap pengaduan dan sikap pelayanan yang tidak ramah juga mencerminkan budaya kerja yang kurang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Sejumlah pemasalahan dalam layanan publik mengindikasikan perlunya reformasi mendalam dalam berbagai aspek pelayanan publik. Langkah-langkah seperti penyederhanaan birokrasi, peningkatan kompetensi aparatur, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap integritas pegawai negeri sipil sangat diperlukan untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih responsif, transparan, dan adil bagi seluruh masyarakat.