Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Penurunan Daya Beli dan Indeks Kebahagiaan Semu

9 Agustus 2024   07:26 Diperbarui: 9 Agustus 2024   07:35 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Sumber gambar: KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Penurunan Daya Beli dan Indeks Kebahagiaan Semu

Indonesia, sebuah negara yang memiliki populasi lebih dari 270 juta jiwa, menghadapi tantangan yang semakin kompleks terkait kebahagiaan warganya. Dalam laporan "World Happiness Report 2024," Indonesia berada di peringkat ke-80 dari 143 negara. 

Meskipun berada di posisi tengah, posisi ini tetap menjadi perhatian, terutama ketika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang semuanya berada di peringkat lebih tinggi. 

Kondisi ini mencerminkan sebuah realitas yang kontras dengan persepsi umum tentang perkembangan ekonomi Indonesia. Salah satu faktor utama yang menyumbang terhadap penurunan peringkat kebahagiaan ini adalah daya beli masyarakat yang kian melemah.

Laporan "World Happiness Report 2024" tidak hanya sekadar menampilkan peringkat, tetapi juga menggambarkan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan. Di antaranya adalah Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, harapan hidup sehat, dukungan sosial, kebebasan, kemurahan hati, dan persepsi terhadap korupsi. 

Indonesia berada di peringkat ke-75 untuk kebahagiaan anak muda di bawah 30 tahun, dan peringkat ke-79 untuk kebahagiaan orang dewasa usia 60 tahun ke atas. Data ini menunjukkan bahwa kebahagiaan di Indonesia sangat bergantung pada faktor-faktor ekonomi dan sosial yang berkaitan erat dengan daya beli masyarakat.

Penurunan daya beli yang dialami oleh masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor ekonomi yang mendasarinya. 

Inflasi menjadi salah satu penyebab utama, di mana kenaikan harga barang dan jasa secara umum mengurangi nilai uang. Dampaknya, masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli barang yang sama, yang pada akhirnya mengurangi daya beli. 

Inflasi yang tidak terkendali juga meningkatkan ketidakpastian ekonomi, yang mengakibatkan masyarakat cenderung menahan pengeluaran dan lebih banyak menabung. Fenomena ini secara langsung berkontribusi terhadap penurunan konsumsi yang berdampak negatif pada kebahagiaan.

Pengangguran merupakan faktor lain yang memperburuk situasi. Tingginya tingkat pengangguran berarti banyak orang yang kehilangan pendapatan tetap, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. 

Selain itu, ketidakpastian terkait lapangan pekerjaan membuat banyak orang merasa tidak aman, yang mengarah pada penurunan kualitas hidup dan kebahagiaan. Data menunjukkan bahwa ketidakstabilan ekonomi, terutama di kalangan pekerja muda, berkontribusi pada peringkat kebahagiaan yang rendah di Indonesia.

Selain itu, terdapat kesenjangan antara upah dan kenaikan harga. Ketika upah pekerja tidak meningkat sejalan dengan kenaikan harga barang dan jasa, daya beli masyarakat menurun. Kondisi ini diperparah dengan kenaikan harga energi, seperti listrik, bensin, dan gas, yang meningkatkan biaya hidup dan produksi. 

Biaya ini pada akhirnya dibebankan kepada konsumen, yang harus membayar lebih mahal untuk barang-barang yang mereka butuhkan sehari-hari. Ketidakmampuan untuk menyesuaikan pendapatan dengan biaya hidup yang meningkat membuat masyarakat merasa tertekan, yang mengurangi tingkat kebahagiaan mereka.

Kebijakan pemerintah juga memiliki peran penting dalam memengaruhi daya beli masyarakat. Kebijakan seperti peningkatan pajak atau pengurangan subsidi dapat berdampak langsung pada pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat. 

Misalnya, pengurangan subsidi bahan bakar yang mengakibatkan kenaikan harga energi, menyebabkan biaya hidup yang lebih tinggi dan pada akhirnya menurunkan daya beli. Dampak negatif dari kebijakan ini sangat dirasakan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang mengandalkan subsidi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Krisis ekonomibaik di tingkat nasional maupun global, sering kali disertai dengan penurunan pendapatan, peningkatan pengangguran, dan penurunan kepercayaan konsumen. Semua ini berkontribusi terhadap penurunan daya beli dan tingkat kebahagiaan. 

Krisis ekonomi global, seperti yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, memperburuk situasi ini dengan mengganggu aktivitas ekonomi, meningkatkan pengangguran, dan mengurangi pendapatan masyarakat.

Selain faktor ekonomi, utang rumah tangga yang tinggi juga memengaruhi daya beli. Ketika sebagian besar pendapatan digunakan untuk membayar cicilan utang, jumlah uang yang tersedia untuk konsumsi akan berkurang, yang pada akhirnya menurunkan daya beli. Hal ini juga menciptakan tekanan psikologis bagi masyarakat, yang merasa terjebak dalam siklus utang yang tidak pernah berakhir, yang mengurangi kebahagiaan mereka.

Perubahan struktur demografi juga memiliki dampak signifikan terhadap daya beli dan kebahagiaan. Dengan populasi yang menua, pola konsumsi berubah, di mana kelompok usia yang lebih tua cenderung mengurangi pengeluaran, terutama jika mereka hidup dengan pendapatan tetap atau pensiun. Penurunan pengeluaran ini berkontribusi terhadap penurunan daya beli secara keseluruhan.

Terakhir, ketidakpastian ekonomi akibat krisis politik atau kebijakan yang tidak menentu membuat masyarakat cenderung menahan pengeluaran dan lebih banyak menabung, sehingga konsumsi menurun. Ketidakpastian ini sering kali menimbulkan kekhawatiran yang berdampak pada kesejahteraan emosional masyarakat, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kebahagiaan.

Kesimpulan

Dari berbagai faktor tersebut, jelas bahwa daya beli yang menurun tidak hanya memengaruhi kondisi ekonomi masyarakat tetapi juga kebahagiaan mereka. 

Kebahagiaan yang diukur oleh laporan "World Happiness Report 2024" ini tampaknya merupakan indeks semu yang menyembunyikan kenyataan pahit yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. 

Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ekonomi, ditambah dengan tekanan sosial dan psikologis, membuat kebahagiaan semakin sulit diraih. 

Oleh karena itu, kebijakan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat perlu menjadi prioritas, agar Indonesia tidak hanya mencapai pertumbuhan ekonomi tetapi juga kesejahteraan yang lebih merata dan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun