Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kelimpahan Cadangan Tenaga Kerja dan Senja Kala Minat Gen Z pada Sektor Pertanian

5 Agustus 2024   21:09 Diperbarui: 8 Agustus 2024   13:41 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Kelimpahan Cadangan Tenaga Kerja dan Senjakala Minat Gen Z Pada Sektor Pertanian

Kelimpahan Cadangan Tenaga Kerja Muda

Indonesia memiliki cadangan tenaga kerja muda yang luar biasa melimpah, terutama dari generasi Z. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, populasi Indonesia mencapai 270,2 juta jiwa dengan 71,5 juta di antaranya merupakan generasi Z. 

Generasi Z didominasi oleh laki-laki sebanyak 36,7 juta orang, sementara perempuan sebanyak 34,7 juta orang. Jumlah terbesar generasi Z berada di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Generasi Z berusia 15-19 tahun sebagian besar masih melanjutkan pendidikan tinggi, sementara mereka yang berusia 15-27 tahun sering kali kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap. Banyak dari mereka akhirnya bekerja di sektor informal atau sebagai pekerja lepas. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 45,1 persen dari pekerja muda usia 15-24 tahun bekerja di sektor informal. Dari jumlah tersebut, 61 persen adalah pekerja keluarga tak dibayar, yang menyoroti besarnya kontribusi tenaga kerja muda dalam sektor informal namun dengan imbalan yang tidak memadai.

Persepsi Sektor Pertanian di Mata Gen Z

Kelimpahan cadangan tenaga kerja muda di Indonesia merupakan potensi yang sangat besar dan perlu dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Salah satu sektor yang berpotensi menyerap tenaga kerja ini adalah sektor pertanian, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. 

Namun, ironi yang mencolok muncul ketika melihat rendahnya minat generasi Z terhadap sektor pertanian. Survei Jakpat pada tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya enam dari 100 Gen Z yang tertarik bekerja di sektor pertanian. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan dan inovasi di sektor yang sangat penting bagi perekonomian.

Generasi Z lebih tertarik pada sektor pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, pertambangan, dan seni kreatif. Alasan utama mereka enggan terjun ke bidang pertanian termasuk pandangan bahwa sektor ini tidak menawarkan perkembangan karir yang jelas, penuh risiko, pendapatan kecil, kurang dihargai, dan tidak menjanjikan masa depan yang cerah.

Data dari Sensus Pertanian 2023 oleh BPS menunjukkan bahwa mayoritas petani di Indonesia berasal dari generasi yang lebih tua, dengan kelompok usia Gen Z hanya mencakup 2,14 persen dari total petani. 

Penghasilan yang relatif rendah dan persepsi pekerjaan tani yang melelahkan secara fisik juga menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya minat generasi muda terhadap sektor pertanian. Selain itu, pekerjaan di sektor pertanian sering kali dianggap kurang prestisius dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yang lebih modern dan menjanjikan.

Selain rendahnya minat, petani muda di Indonesia menghadapi berbagai kendala signifikan yang menghalangi perkembangan mereka dalam sektor pertanian. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan lahan. Lahan yang tersedia sering kali lebih difokuskan untuk kegiatan edukasi ketimbang produksi, terutama di wilayah perkotaan. 

Selain itu, warisan lahan yang terbagi dalam setiap generasi membuat luas lahan yang dimiliki semakin kecil, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Keterbatasan akses lahan juga diperparah oleh ketidakjelasan status kepemilikan lahan, yang sering kali menghambat petani muda untuk menyewa atau membeli lahan yang mereka butuhkan. 

Modal awal yang besar dan terbatasnya akses pengetahuan serta teknologi juga menjadi hambatan besar bagi petani muda. Biaya tinggi untuk memulai usaha pertanian dan risiko pasar yang tidak stabil membuat banyak petani muda kesulitan untuk bertahan. 

Panjangnya rantai pasok sering kali merugikan petani karena mereka hanya mendapatkan sebagian kecil dari harga akhir produk di pasar. Hal ini menunjukkan perlunya peran pemerintah dalam menstabilkan harga dan memberikan perlindungan harga bagi petani.

Intervensi Kebijakan dan Kolaborative Governance

Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang mendukung dan mendorong generasi muda untuk terlibat dalam sektor pertanian. 

Salah satu langkah penting adalah reforma agraria yang serius, dengan mendistribusikan lahan yang terkonsentrasi pada segelintir pihak dan menyediakan basis data penyewaan lahan. 

Platform digital yang menghubungkan pemilik lahan dengan petani muda dapat membantu mempermudah akses ke lahan. Investasi teknologi dan kemitraan dengan sektor swasta juga sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan akses pasar bagi petani muda. 

Peningkatan kesejahteraan petani juga harus menjadi fokus kebijakan pertanian, dengan memberikan subsidi untuk adopsi teknologi, akses ke lahan, serta pembenahan tata kelola pangan untuk mengurangi informasi pasar yang tidak simetris.

Perguruan tinggi perlu mengembangkan kurikulum pertanian dan berkelanjutan serta melakukan penelitian yang relevan dengan kebutuhan lokal untuk mendukung inovasi dalam sektor pertanian.

Lembaga keuangan harus menyediakan produk pembiayaan yang disesuaikan dengan karakteristik musiman dari sektor pertanian, memberikan fleksibilitas dalam pembayaran untuk petani muda. 

Karena itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan lembaga keuangan sangat penting untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi sektor pertanian. Kerja sama ini akan membantu mengatasi tantangan seperti rendahnya lapangan kerja, perubahan iklim dan krisis sosial ekonomi.

Kesimpulan

Indonesia memiliki cadangan tenaga kerja muda yang melimpah, namun minat generasi Z terhadap sektor pertanian sangat rendah. Berbagai kendala seperti keterbatasan lahan, modal awal yang besar, dan ketidakjelasan status kepemilikan lahan menghambat perkembangan petani muda. 

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang mendukung dan mendorong generasi muda untuk terlibat dalam sektor pertanian. 

Intervensi kebijakan dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan lembaga keuangan sangat penting untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi sektor pertanian. 

Dengan demikian, sektor pertanian dapat menjadi lebih menarik dan berkelanjutan bagi generasi muda, membantu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.

****

Pustaka:

1. https://tirto.id/anak-muda-jadi-kunci-regenerasi-sektor-pertanian-g12M

2. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/08/04/bagaimanakah-sosok-gen-z-indonesia-saat-ini?open_from=Baca_Nanti_Page

3. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/05/09/ksp-dorong-gen-z-jadi-petani-akademisi-petani-muda-harus-punya-lahan-minimal-1-hektare-agar-hidup-layak?open_from=Baca_Nanti_Page

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun