Dari Wantimpres ke DPA: Memperkuat Demokrasi atau Oligarki?
Revisi Undang-Undang (UU) tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang mengubah nomenklatur menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) telah menjadi topik hangat di Indonesia.Â
Proses ini, yang disetujui oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR), membawa sejumlah perubahan signifikan yang mempengaruhi kedudukan dan fungsi dewan tersebut dalam sistem pemerintahan.Â
Dewan Pertimbangan Presiden, yang awalnya dibentuk pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sering kali dianggap tidak efisien dan kurang relevan. Revisi UU ini diharapkan dapat mengatasi kelemahan tersebut dengan memberikan peran yang lebih jelas dan signifikan.
Namun, skeptisisme tetap ada, dengan kekhawatiran bahwa perubahan ini hanya akan menguntungkan kelompok tertentu, terutama menjelang pelantikan presiden terpilih Prabowo Subianto.Â
Perubahan ini menimbulkan berbagai reaksi, baik dukungan maupun kritik, dengan isu utama yang berfokus pada apakah langkah ini memperkuat demokrasi atau justru mendorong oligarki.
Pendukung revisi berargumen bahwa perubahan ini akan meningkatkan efektivitas pemerintahan, sementara para pengkritik melihatnya sebagai langkah untuk memperkuat dominasi politik.
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa revisi ini akan menjadikan DPA setara dengan presiden dan lembaga negara lainnya, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Â
Kedudukan ini akan memberikan DPA peran yang lebih signifikan dan independen dalam memberikan nasihat kepada presiden, menciptakan keseimbangan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia.Â
Yusril lebih lanjut menekankan bahwa dengan kedudukan yang setara, DPA dapat berfungsi lebih efektif dalam memberikan pertimbangan yang penting bagi pengambilan keputusan presiden.
Beberapa anggota DPR, dan partai politik, mendukung revisi ini dengan alasan bahwa perubahan tersebut akan memperjelas tugas dan fungsi DPA.Â
Menurut mereka, peningkatan status dan wewenang DPA akan memungkinkan dewan ini memberikan nasihat yang lebih efektif dan strategis kepada presiden, mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik di tingkat tertinggi pemerintah.
Sementara itu, kritik keras juga muncul dari berbagai kalangan. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengkhawatirkan bahwa revisi ini dapat digunakan sebagai alat bagi-bagi jabatan, yang berpotensi merusak integritas demokrasi Indonesia.Â
Mantan calon wakil presiden, Mahfud MD, sekaligus tokoh dalam bidang hukum dan politik, menyatakan kecurigaannya bahwa perubahan ini bertujuan untuk memastikan individu tertentu tetap memiliki kedudukan tinggi dalam pemerintahan, mengindikasikan adanya agenda politik tersembunyi di balik revisi ini.
Selain tokoh politik, kalangan masyarakat sipil juga melontarkan kritik terhadap revisi ini, bahwa perubahan ini adalah bentuk bagi-bagi kue kekuasaan.
Bahwasannya, revisi UU Wantimpres yang baru disetujui oleh DPR mempertegas rencana presiden untuk mengakomodir para pendukungnya dengan memberikan jabatan di DPA. Karena anggota Wantimpres sering kali adalah mantan menteri, pensiunan pejabat negara, atau individu yang dianggap loyal kepada presiden.
Dengan memberikan kedudukan tinggi kepada individu tertentu yang loyal kepada presiden, ada risiko bahwa revisi ini lebih berfungsi sebagai strategi politik untuk memperkuat dominasi kekuasaan, daripada meningkatkan efektivitas pemerintahan.Â
Sehingga kemudian upaya revisi UU Wantimpres dilihat sebagai upaya merasionalisasi cara untuk memberi imbalan kepada para pendukung presiden terpilih.
Selain isu bagi-bagi kekuasaan, para pengkritik melihat revisi ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai penggunaan anggaran negara.Â
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa revisi UU Wantimpres tidak memiliki urgensi dan hanya akan memboroskan anggaran negara.Â
Sebagai lembaga negara, anggota DPA akan menerima hak keuangan dan fasilitas yang sama dengan menteri negara, menambah beban anggaran tanpa manfaat yang jelas bagi rakyat. Penggunaan anggaran yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat luas dapat dialihkan untuk memperkuat posisi politik presiden dan pendukungnya.
Perubahan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang dampaknya pada demokrasi Indonesia. Setelah amandemen keempat UUD 1945, keberadaan DPA diganti dengan Wantimpres untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden.Â
Namun, dengan mengembalikan kedudukan DPA dan memberikan wewenang yang lebih besar, ada kekhawatiran bahwa hal ini dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan.Â
Dengan menghapus larangan bagi anggota DPA untuk merangkap jabatan di partai politik, ormas, dan lain-lain, independensi dewan ini dapat dipertanyakan, dan kebijakan yang dihasilkan mungkin lebih cenderung menguntungkan kelompok tertentu dibandingkan kepentingan umum.
Di tengah pro-kotra revisi UU Wantimpres menjadi DPA mencerminkan dinamika politik yang kompleks di Indonesia. Meskipun perubahan ini dapat memperkuat peran dewan dalam pemerintahan, ada kekhawatiran besar tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan dan dampaknya pada demokrasi.Â
Dengan meningkatnya peran dan kedudukan DPA, penting untuk memastikan bahwa perubahan ini benar-benar bermanfaat bagi rakyat dan tidak hanya sebagai alat politik untuk memperkuat kekuasaan presiden dan pendukungnya.Â
Transparansi, akuntabilitas, dan integritas harus menjadi prinsip utama dalam pelaksanaan revisi ini untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintahan.Â
Keberhasilan revisi ini akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dan DPR menjalankannya, serta bagaimana masyarakat dan media mengawasi implementasinya.
Referensi:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c51yg0z71w8o
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI