Menurut mereka, peningkatan status dan wewenang DPA akan memungkinkan dewan ini memberikan nasihat yang lebih efektif dan strategis kepada presiden, mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik di tingkat tertinggi pemerintah.
Sementara itu, kritik keras juga muncul dari berbagai kalangan. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengkhawatirkan bahwa revisi ini dapat digunakan sebagai alat bagi-bagi jabatan, yang berpotensi merusak integritas demokrasi Indonesia.Â
Mantan calon wakil presiden, Mahfud MD, sekaligus tokoh dalam bidang hukum dan politik, menyatakan kecurigaannya bahwa perubahan ini bertujuan untuk memastikan individu tertentu tetap memiliki kedudukan tinggi dalam pemerintahan, mengindikasikan adanya agenda politik tersembunyi di balik revisi ini.
Selain tokoh politik, kalangan masyarakat sipil juga melontarkan kritik terhadap revisi ini, bahwa perubahan ini adalah bentuk bagi-bagi kue kekuasaan.
Bahwasannya, revisi UU Wantimpres yang baru disetujui oleh DPR mempertegas rencana presiden untuk mengakomodir para pendukungnya dengan memberikan jabatan di DPA. Karena anggota Wantimpres sering kali adalah mantan menteri, pensiunan pejabat negara, atau individu yang dianggap loyal kepada presiden.
Dengan memberikan kedudukan tinggi kepada individu tertentu yang loyal kepada presiden, ada risiko bahwa revisi ini lebih berfungsi sebagai strategi politik untuk memperkuat dominasi kekuasaan, daripada meningkatkan efektivitas pemerintahan.Â
Sehingga kemudian upaya revisi UU Wantimpres dilihat sebagai upaya merasionalisasi cara untuk memberi imbalan kepada para pendukung presiden terpilih.
Selain isu bagi-bagi kekuasaan, para pengkritik melihat revisi ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai penggunaan anggaran negara.Â
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa revisi UU Wantimpres tidak memiliki urgensi dan hanya akan memboroskan anggaran negara.Â
Sebagai lembaga negara, anggota DPA akan menerima hak keuangan dan fasilitas yang sama dengan menteri negara, menambah beban anggaran tanpa manfaat yang jelas bagi rakyat. Penggunaan anggaran yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat luas dapat dialihkan untuk memperkuat posisi politik presiden dan pendukungnya.
Perubahan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang dampaknya pada demokrasi Indonesia. Setelah amandemen keempat UUD 1945, keberadaan DPA diganti dengan Wantimpres untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden.Â