Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penyederhanaan Masalah Korupsi Kepala Daerah

14 Juli 2024   17:03 Diperbarui: 14 Juli 2024   19:05 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jumlah Pejabat Daerah yang Terjerat Kasus Korupsi (2004-2022). Sumber Gambar: https://databoks.katadata.co.id/

Penyederhanaan Masalah Korupsi

Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia, terutama di tingkat pemerintahan daerah. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya, praktik korupsi tetap merajalela dan seringkali melibatkan pejabat-pejabat tinggi. 

Korupsi di kalangan kepala daerah sering kali dianggap sebagai masalah yang kompleks dan multidimensional, dengan banyak faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya perilaku koruptif. 

Pernyataan bahwa korupsi disebabkan oleh rendahnya kesejahteraan pejabat daerah atau tingginya biaya politik sering kali muncul dalam diskusi tentang cara mengatasi masalah ini. Namun, pandangan ini tampaknya terlalu menyederhanakan persoalan yang sebenarnya lebih dalam. 

Dalam rapat kerja nasional Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Tahun 2024, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan bahwa kesejahteraan yang cukup dapat mencegah korupsi di pemerintahan daerah. Ia juga menyoroti tingginya biaya politik sebagai salah satu penyebab utama korupsi. 

Pandangan ini disambut dengan antusias oleh para kepala daerah, namun apakah benar masalah korupsi hanya sebatas pada kesejahteraan dan biaya politik?

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi sepanjang periode 2004-2022. Rinciannya, terdapat 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK.

Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebanyak 310 wakil rakyat juga terjerat korupsi pada periode yang sama. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) turut mencatat pada 2021-2023, sedikitnya terjadi korupsi yang melibatkan 61 kepala daerah. Jumlah ini bisa lebih besar jika ditambahkan dengan catatan dari kepolisian dan kejaksaan.

Data di atas mengisyaratkan bahwa korupsi di Indonesia merupakan masalah yang serius dan sistemik dan mencerminkan permasalahan dalam tata kelola pemerintahan di tingkat daerah.

Jumlah Pejabat Daerah yang Terjerat Kasus Korupsi (2004-2022). Sumber Gambar: https://databoks.katadata.co.id/
Jumlah Pejabat Daerah yang Terjerat Kasus Korupsi (2004-2022). Sumber Gambar: https://databoks.katadata.co.id/

Namun demikian, jikia dilihat dari gaji yang dikantongi kepala daerah sudah lebih dari cukup. Belum tambahan insentif dan operasional bulanan dan tunjangan yang mereka terima karena menjabat sebagai bupati/walikota dan gubernur. 

Gaji pokok dan tunjangan bagi kepala daerah di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan pemerintah, yang bertujuan untuk memberikan kompensasi yang memadai sesuai dengan tanggung jawab mereka. 

Peraturan ini, yang direvisi dari waktu ke waktu, mencakup berbagai aspek remunerasi, termasuk gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan lainnya yang diterima oleh kepala daerah dan wakilnya.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 59 tahun 2000, Gubernur menerima gaji pokok sebesar Rp 3.000.000 per bulan, sementara wakil gubernur mendapatkan Rp 2.400.000 per bulan. Bupati atau walikota menerima gaji pokok sebesar Rp 2.100.000 per bulan, dan wakil bupati atau wakil walikota memperoleh Rp 1.800.000 per bulan.

Di samping gaji pokok, kepala daerah juga menerima berbagai tunjangan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Misalnya, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 68 tahun 2001, tunjangan jabatan untuk bupati ditetapkan sebesar Rp 3,78 juta per bulan, dan untuk wakil bupati sebesar Rp 3,24 juta per bulan. 

Selain itu, mereka juga mendapatkan tunjangan beras, tunjangan untuk anak dan istri, serta tunjangan kesehatan yang dikelola melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Penghasilan kepala daerah juga dilengkapi dengan biaya operasional yang disesuaikan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing daerah. Alokasi biaya operasional ini ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan diatur dalam PP 109 tahun 2000. Besaran tunjangan operasional bervariasi tergantung pada besaran PAD daerah tersebut.

Jika PAD suatu daerah kurang dari Rp 5 miliar, maka tunjangan operasional berkisar antara Rp 125 juta hingga 3% dari PAD. Untuk daerah dengan PAD antara Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar, tunjangan operasional berada di antara Rp 150 juta hingga 2% dari PAD.

Daerah dengan PAD antara Rp 10 miliar hingga Rp 20 miliar memiliki tunjangan operasional sebesar Rp 250 juta hingga 1,5% dari PAD. Daerah dengan PAD antara Rp 20 miliar hingga Rp 50 miliar mendapatkan tunjangan operasional antara Rp 300 juta hingga 0,8% dari PAD. 

Sementara itu, daerah dengan PAD antara Rp 50 miliar hingga Rp 150 miliar menerima tunjangan operasional antara Rp 400 juta hingga 0,4% dari PAD. Untuk daerah dengan PAD di atas Rp 150 miliar, tunjangan operasional berkisar antara Rp 600 juta hingga 0,15% dari PAD.

Sumber Gambar: https://www.ampera.co/
Sumber Gambar: https://www.ampera.co/

Sistem penggajian kepala daerah dirancang untuk memastikan bahwa kepala daerah memiliki kompensasi yang memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai kepala daerah. 

Namun demikian, jika selama ini kapala daerah melakukan korupsi, itu artinya ada faktor lain selain kesejahteraan yang mendorong mereka melakukan korupsi. Salah satu faktor utamanya adalah sifat rakus dan kurangnya integritas serta pengawasan yang memadai. 

Selain itu, biaya politik yang tinggi memang menjadi beban bagi calon kepala daerah dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada). Namun, faktor ini tidak bisa dijadikan pembenaran untuk perilaku koruptif. 

Pemerintah seharusnya lebih fokus pada reformasi sistem politik dan pemilu untuk menekan biaya politik yang tinggi. Misalnya, dengan mendorong akuntabilitas bantuan keuangan partai politik dan revisi undang-undang politik yang ada.

Kajian survei KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa biaya untuk pemenangan pilkada cukup fantastis. Calon bupati/wali kota membutuhkan sekitar Rp20 miliar hingga Rp30 miliar, sementara calon gubernur membutuhkan sekitar Rp20 miliar hingga Rp100 miliar. 

Jika total remunerasi rata-rata kepala daerah selama satu periode termasuk gaji pokok, tunjangan jabatan, operasiona, dan tunjangan lainnya yang diterima mencapai sekitar Rp5 miliar. Perbandingan ini menunjukkan bahwa biaya politik yang tinggi memang menjadi salah satu beban, namun bukan satu-satunya faktor penyebab korupsi.

Faktor lain yang mendorong korupsi adalah kurangnya sistem pengawasan yang efektif. Banyak kepala daerah terlibat dalam berbagai modus korupsi, seperti manipulasi anggaran belanja, pungutan liar atas proyek-proyek di wilayahnya, dan pemotongan anggaran di berbagai dinas/satuan kerja. Modus lainnya termasuk jual beli jabatan di level sekretaris daerah hingga kepala dinas. Sistem yang tidak transparan dan akuntabel membuka celah bagi korupsi.

Sumber Gambar: Sumber: www.kpk.go.id
Sumber Gambar: Sumber: www.kpk.go.id

Remunerasi yang layak memang penting untuk mencegah korupsi, namun ini bukan satu-satunya solusi. Masalah utama adalah kurangnya integritas, akuntabilitas, dan pengawasan yang memadai di kalangan pejabat. Reformasi besar-besaran dalam sistem politik dan peningkatan akuntabilitas partai politik sangat diperlukan untuk menekan biaya politik dan mencegah korupsi.

Penegakan hukum yang tegas dan berintegritas juga sangat penting untuk memberikan pesan bahwa tindakan koruptif tidak dapat ditoleransi. Namun, masalahnya saat ini, banyak lembaga penegak hukum yang integritas dan akuntabilitasnya masih lemah. Oleh karena itu, diperlukan upaya serius dari pemerintah untuk memperbaiki sistem dan memastikan penegakan hukum yang tegas dan berintegritas.

Penutup

Dengan demikian, praktik korupsi bukan hanya soal kesejahteraan atau biaya politik, tetapi juga mencerminkan kurangnya integritas moral dan budaya koruptif yang telah mengakar. Pandangan yang menyederhanakan masalah korupsi hanya sebatas pada kesejahteraan dan biaya politik tinggi tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya. 

Korupsi lebih banyak dipicu oleh sifat rakus, kurangnya integritas, dan sistem pengawasan yang lemah. Reformasi sistem politik dan peningkatan akuntabilitas sangat diperlukan untuk menekan biaya politik yang tinggi dan mencegah korupsi. 

Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan berintegritas juga sangat penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Pemerintah harus lebih fokus pada upaya ini daripada mencari-cari alasan dan pembenaran untuk perilaku koruptif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun