Fenomena politik menjelang Pilkada serentak menjadi perbincangan hangat di kalangan publik. Hal ini merupakan bagian dari dinamika persiapan pesta demokrasi, selama tidak melanggar aturan yang berlaku.
Di tengah hiruk pikuk proses pilkada tetap berlangsung, setelah mendapatkan rekomendasi dari partai politik, para peserta pilkada siap bersaing dalam perebutan kursi kekuasaan melalui Daftar Calon Tetap (DCT) yang akan segera diumumkan oleh KPU.
Meskipun ada peserta pilkada independen yang tidak mengandalkan partai politik, mereka juga telah menyiapkan berbagai strategi untuk bertarung dalam pemilihan ini.
Para peserta kontestasi pilkada nantinya belum tentu lolos uji kelayakan dari kita sebagai rakyat pemegang kekuasaan tertinggi. Proses ini akan dijalani dalam masa kampanye yang telah dijadwalkan oleh KPU.Â
Masa kampanye tersebut menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk menguji dan menilai program-program yang ditawarkan oleh setiap peserta kontestan.Â
Bahkan sebelum masa kampanye dimulai, beberapa bakal calon kepala daerah telah mulai menunjukkan eksistensinya melalui berbagai kegiatan di media sosial untuk menarik simpati rakyat.
Beberapa calon kepala daerah membagikan sembako sambil berfoto bersama masyarakat dan menjanjikan pembangunan infrastruktur seperti jalan, industri, dan lapangan olahraga berstandar nasional.Â
Semua ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap masyarakat. Ada juga yang mengadakan seminar yang hanya berisi puja-puji atau gimmick politik agar terlihat keren di mata publik.
Meskipun kegiatan-kegiatan tersebut tampak baik untuk kemajuan suatu daerah, kita perlu merenung tentang kepemimpinan sebelumnya.Â
Banyak paradoks terjadi di mana para pemimpin setelah menduduki jabatan kekuasaan sering kali melupakan janji-janji kampanye mereka.Â