Dalam perspektif komunikasi politik, kampanye bertujuan mempengaruhi opini publik melalui pesan politik yang disebarkan melalui berbagai saluran dan media.Â
Kampanye seharusnya membuka ruang diskursus di mana isu-isu krusial dibahas, memberikan pemahaman yang lebih baik kepada publik mengenai kebijakan dan visi masa depan yang diusung oleh para kandidat atau partai politik.
Namun, kualitas kampanye di Indonesia sering kali buruk. Berdasarkan pengalaman Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pilpres 2019 2024, kampanye didominasi oleh isu personal dan identitas ketimbang kebijakan atau program yang relevan.Â
Isu yang diangkat dalam kampanye menjauhkan pemilih dari persoalan riil masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini melahirkan narasi politik identitas, fitnah, disinformasi, dan hoaks.
Kualitas kampanye yang buruk dan maraknya kampanye hitam berdampak negatif terhadap akal sehat masyarakat. Kampanye hitam juga memicu polarisasi politik yang mengancam integritas dan stabilitas sistem politik.
Dengan demikian, kampanye hitam, yang sering kali berisi serangan personal dan disinformasi, membawa dampak negatif yang signifikan terhadap pemilih.
Pertama, kampanye semacam ini merusak proses edukasi politik. Alih-alih membangun pengetahuan pemilih tentang kebijakan dan program kandidat, kampanye hitam mengalihkan perhatian mereka ke isu-isu tidak relevan. Ini membuat pemilih lebih rentan terhadap manipulasi emosi ketimbang menilai dengan akal sehat dan logika.
Kedua, kampanye hitam juga menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses politik. Ketika pemilih terus-menerus dihadapkan pada narasi yang penuh fitnah dan kebohongan, kepercayaan mereka terhadap integritas politik dan proses pemilu menurun.Â
Hal ini bisa berakibat pada meningkatnya apatisme politik, di mana masyarakat memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu karena merasa bahwa suara mereka tidak lagi berarti di tengah suasana kampanye yang penuh kebencian dan hoaks.
Ketiga, kampanye hitam mendorong polarisasi politik yang ekstrem. Dalam banyak kasus, pemilih terbagi menjadi dua kubu yang saling berlawanan secara tajam.Â
Setiap kubu merasa terancam oleh keberadaan kubu lain dan melihat politik sebagai medan pertempuran zero-sum game, di mana kemenangan satu pihak harus didapat dengan mengalahkan total pihak lain. Polarisasi ini tidak hanya membahayakan proses demokrasi yang sehat, tetapi juga berpotensi memicu konflik sosial di tingkat masyarakat.