Bahaya Kampanye Hitam dalam Pilkada Serentak 2024 dan Urgensitas Literasi Politik Kritis
Tahapan pengundian nomor urut pasangan calon kepalah daerah dan wakil kepala daerah telah berlangsung. Tahapan ini merupakan bagian terakhir dalam proses pencalonan, setelah sebelumnya bakal pasangan calon  ditetapkan sebagai peserta pilkada. Dan tahapan selanjutnya adalah masa kampanye yang telah dimulai sejak 25 September lalu.
Masa kampenye pilkada merupakan masa paling krusial. Sebab, pada masa kampaye para kandidat akan meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri. Upaya meyakinkan pemilih, kampanye dapat diwujudkan dalam bergam bentuk, cara, media dan materi.
Bentuk dan cara kampanye juga beragam, ada kampaye terbuka, seperti, kampanye akbar, pertemuan umum, blusukan dan lainnya. Ada pula kampaye tertutup seperti tatap muka terbatas.
Demikian pun media dan bahan kampanye, Â umumnya berbentuk selebaran, brosur, pamflet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum atau makan, kalender, kartu nama, pin, hingga alat tulis. Ada pula yang dikemas dengan apik dalam media sosial. Pada intinya bergam bentuk, cara, media dan materi para kandidat hendak menyampaikan "pesan-pesan" kepada pemilih.
Kendati demikian, selain bentuk dan cara kampaye sebagaimana disebutkan di atas, jamak terjadi kampaye hitam (black campain). Bentuk kampanye hitam ini bertujuan merusak reputasi lawan politik melalui berbagai bentuk serangan yang sering kali tidak berdasarkan fakta atau keadilan.
Seringkali kita jumpai, berbagai bentuk kampanye hitam marak beredar di dunia maya. Media sosial menjadi instrumen politik bagi para aktor untuk melancarkan kampanye hitam terhadap kandidat lawan.Â
Kampanye hitam merujuk pada serangan politik yang menggunakan kata-kata, gambar, dan suara untuk menyerang lawan tanpa merujuk pada fakta atau keadilan.Â
Praktik ini sering kali didasarkan pada asumsi, spekulasi, manipulasi, dan prasangka negatif. Bentuk serangan ini dapat berupa hasutan, provokasi, atau fitnah, dengan tujuan utama menghancurkan reputasi target. Kampanye hitam juga sering memanfaatkan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sebagai alat untuk menyerang lawan.
Data dari Bawaslu RI menunjukkan bahwa kampanye hitam menjadi salah satu kerawanan utama menuju Pilkada serentak 2024. Indeks Kerawanan Pemilu yang diluncurkan oleh Bawaslu RI mengungkapkan bahwa ujaran kebencian menjadi isu dominan di sekitar 50% provinsi di Indonesia. Konten hoaks atau berita bohong digunakan dalam tahapan kampanye di sekitar 30%, dan kampanye dengan muatan SARA terjadi sekitar 20% (https://www.bawaslu.go.id, 2024).
Pada tingkat kabupaten/kota, ujaran kebencian merupakan isu utama yang rentan menciptakan kerawanan dalam kampanye pemilu. Kampanye dengan ujaran kebencian berpotensi mencapai 33% wilayah kabupaten/kota, diikuti oleh kampanye yang bermuatan SARA dengan angka 27%. Kondisi ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman kampanye hitam dalam merusak proses demokrasi (https://www.bawaslu.go.id, 2024).