Mengelola Keamanan Digital Anak: Strategi Literasi Digital dalam Era Game Online
Fenomena game online telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, terutama sejak masa pandemi yang meningkatkan popularitasnya secara masif.Â
Di Indonesia, seperti yang dilaporkan oleh We Are Social, negara ini menduduki peringkat ketiga dalam jumlah pemain game online terbanyak di dunia per Januari 2022. Data ini menggarisbawahi betapa luasnya pasar dan penggunaan game online di tengah masyarakat digital saat ini.
Menurut UNICEF, sebagaimana dikutip Andhika Ajie Baskoro ett al (2024) bahwa game online telah diakui memiliki dampak positif, dapat membangun keterampilan kognitif anak, seperti keterampilan pengambilan keputusan, penguasaan diri, dan kemampuan untuk berekspresi diri.
UNICEF bahkan mengemukakan bahwa prestasi dalam game dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi anak-anak, sementara membangun hubungan sosial dengan sesama pemain juga menjadi aspek penting dalam pengembangan mereka (Baskoro, ett al 2024).
Namun, di balik manfaatnya, ada pula risiko serius yang terkait dengan kecanduan game online. Menurut Kementerian PPPA (2024) menunjukkan bahwa sejumlah besar anak mengalami kecanduan game, yang tidak hanya berdampak pada kesehatan mental mereka tetapi juga meningkatkan risiko terhadap konten-konten yang tidak pantas seperti kekerasan dan pornografi.Â
Salah satu aspek yang kurang mendapat perhatian cukup adalah potensi ancaman dari predator seksual yang menggunakan game online sebagai sarana untuk melancarkan tindakan mereka.Â
Kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi digital telah menyebabkan banyak anak di Indonesia menjadi rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan seksual dalam lingkungan daring.Â
Eksploitasi dan Kekerasan Seksual terhadap Anak secara Daring atau OCSEA (Online Child, Sexual, Exploitation, and Abuse) , adalah bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam konteks teknologi digital dan internet. Bentuk ini bisa terjadi sepenuhnya secara online atau melalui kombinasi interaksi daring dan tatap muka antara pelaku dan korban anak-anak (https://www.kemenpppa.go.id, 2024).
Sebagai contoh, semisalnya seorang anak sekolah yang terlibat dengan pelaku kekerasan seksual yang menggunakan game online sebagai medium untuk meminta foto yang tidak pantas, dan betapa mudahnya anak-anak menjadi korban manipulasi dalam dunia digital.Â
Anonimitas yang dimungkinkan oleh ruang digital ini memberikan kesempatan bagi pelaku untuk berkomunikasi dan membangun hubungan dengan anak-anak tanpa diketahui identitas mereka.Â