Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Rumah sebagai Cerminan Kondisi Sosial dan Ekonomi

29 Juni 2024   00:05 Diperbarui: 1 Juli 2024   10:47 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah sebagai Cerminan Kondisi Sosial dan Ekonomi 

Memiliki rumah idaman adalah impian banyak orang. Sebuah rumah bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga merupakan cerminan dari kondisi ekonomi dan sosial, atau kelas sosial, serta gaya hidup pemiliknya. 

Rumah dapat mencerminkan identitas, status sosial ekonomi, dan preferensi gaya hidup seseorang, menjadi salah satu indikator nyata dari pencapaian dan aspirasi individu dalam masyarakat.

Orang kaya atau kelas atas cenderung memiliki rumah yang mewah dengan harga mahal. Rumah-rumah ini sering kali dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern seperti kolam renang, taman yang luas, ruang olahraga, dan sistem keamanan canggih. 

Desain arsitektur rumah-rumah tersebut biasanya unik dan estetik, sering kali dirancang oleh arsitek ternama untuk mencerminkan gaya hidup dan selera pemiliknya.

Lokasi rumah juga menjadi faktor penting bagi kelas atas dan cenderung memilih lokasi yang eksklusif dan strategis, seperti di kawasan elit perkotaan atau di daerah pinggiran yang tenang namun dekat dengan pusat bisnis. 

Faktor keamanan dan privasi menjadi pertimbangan utama. Rumah-rumah ini tidak hanya menjadi tempat tinggal tetapi juga menjadi simbol status sosial yang tinggi dan pencapaian finansial.

Selain itu, rumah mewah sering kali menjadi tempat untuk mengadakan berbagai acara sosial, yang berfungsi sebagai tempat berkumpul bagi teman, keluarga, dan rekan bisnis, memperkuat jaringan sosial dan profesional pemiliknya. 

Tentu saja harga perumahan di kawasan-kawasan ini terkenal sangat tinggi, mencapai puluhan miliar rupiah, sebanding dengan berbagai fasilitas dan aksesibilitas yang ditawarkannya.

Sebut saja hunian perumahan kawasan Menteng (Jakarta Pusat), Pondok Indah (Jakarta Selatan), Pantai Indah Kapuk (Jakarta Utara), Kelapa Gading (Jakarta Utara) atau BSD City Tangerang, Podomoro Park Bandung,  CitraLand Surabaya, Parkland Podomoro dan Kota Kertabumi Kerawang, Puri Indah dan Pondok Tjandra Indah Sidoarjo, The Nove Nuvasa Bay Batam, Summarecon Mutiara Makassar, CitraLand Palembang, dan kawasan perumahan elit lainnya. Kawasan perumahan ini menjadi menarik perhatian banyak orang, khususnya kalangan orang-orang kaya.

Ilustrasi Perumahan Elit di Menteng, Jakarta Pusat. Sumber gambar: Transaksiproperty.com
Ilustrasi Perumahan Elit di Menteng, Jakarta Pusat. Sumber gambar: Transaksiproperty.com

Di sisi lain, kelas menengah ke bawah dengan pendapatan rendah cenderung memiliki rumah yang lebih sederhana, atau bahkan tidak memiliki rumah sendiri alias mengontrak. 

Rumah-rumah ini biasanya berukuran lebih kecil dan terletak di lingkungan yang kurang eksklusif, dengan fasilitas yang lebih terbatas. 

Desain rumah kelas menengah ke bawah cenderung lebih fungsional daripada estetis. Fokus utama adalah pada kebutuhan dasar seperti tempat tidur, ruang makan, dan kamar mandi. 

Pemilik rumah dari kelas ini biasanya mengutamakan efisiensi biaya dalam membangun atau menyewa rumah, sehingga penggunaan bahan bangunan yang lebih murah dan desain yang lebih sederhana menjadi pilihan utama.

Lokasi rumah bagi kelas menengah ke bawah sering kali berada di daerah yang lebih padat dan kurang strategis, seperti di pinggiran kota atau di daerah urban dengan infrastruktur yang minim. 

Hal ini seringkali disebabkan oleh keterbatasan finansial yang mengharuskan mereka untuk mencari tempat tinggal yang lebih terjangkau. Keamanan dan kenyamanan menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang tinggal di lingkungan seperti ini.

Namun, meskipun sederhana, rumah-rumah ini tetap memiliki arti penting bagi pemiliknya, menjadi tempat perlindungan dan kenyamanan, serta pusat kehidupan keluarga. 

Meskipun dengan keterbatasan, banyak orang dari kelas menengah ke bawah yang tetap berusaha menciptakan lingkungan rumah yang hangat dan menyenangkan, mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan.

Kawasan kumuh di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan. Sumber Gambar: Kompas.id (RHAMA PURNA JATI)
Kawasan kumuh di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan. Sumber Gambar: Kompas.id (RHAMA PURNA JATI)

Realitas Sosial dan Ekonomi di Balik Kepemilikan Rumah

Dengan demikian kepemilikan rumah menjadi mencerminkan realitas sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Ketimpangan ekonomi antara kelas atas dan kelas menengah ke bawah terlihat jelas dalam perbedaan kualitas dan lokasi rumah. 

Ketimpangan kepemilikan rumah merujuk pada ketidakseimbangan dalam akses dan kemampuan untuk memiliki rumah di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. 

Di Indonesia, menurut Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari sepertiga penduduk Indonesia, tepatnya 36,85 persen rumah tangga, tinggal di rumah yang tidak layak huni. Ini berarti sekitar 36 hingga 37 dari setiap 100 rumah tangga menempati rumah yang tidak memenuhi standar kelayakan.

Ketimpangan ini lebih jelas terlihat di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Di perkotaan, 34,53 persen rumah tangga tinggal di rumah yang tidak layak huni, sedangkan di pedesaan angkanya mencapai 40,09 persen. 

Berdasarkan data per provinsi pada tahun 2023, ada empat provinsi dengan persentase rumah tangga yang menempati rumah tak layak huni melebihi 50 persen. Provinsi tersebut adalah Papua dengan 70,99 persen, Kepulauan Bangka Belitung dengan 67,43 persen, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dengan 61,2 persen, dan Nusa Tenggara Timur dengan 57,3 persen. 

Di sisi lain, provinsi dengan persentase rumah tangga yang tinggal di rumah tak layak huni terendah adalah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, yaitu hanya 14,21 persen (https://lestari.kompas.com, 19 Februari 2024). 

Sumber Gambar: BPS-RI, Susenas 2016-2023 (https://www.bps.go.id, 12 Desember 2023)
Sumber Gambar: BPS-RI, Susenas 2016-2023 (https://www.bps.go.id, 12 Desember 2023)

Selain masalah kelayakan huni, banyak keluarga di Indonesia belum memiliki rumah sendiri, dengan sebagian masih tinggal di rumah dengan status kontrak, bebas sewa, atau lainnya. 

Menurut BPS, pada tahun 2023, persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri adalah 84,79 persen. Artinya, 15,21 persen rumah tangga di Indonesia belum memiliki rumah. 

Dari jumlah ini, status rumah yang ditempati meliputi kontrak/sewa (5,05 persen), bebas sewa (9,37 persen), rumah dinas (0,76 persen), dan lainnya (0,03 persen). Sebagian besar keluarga yang belum memiliki rumah sendiri menempati hunian dengan status bebas sewa (https://kompas.com, 19 Februari 2024). 

Lebih lanjut, data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan bahwa sebanyak 81 juta penduduk Indonesia dari kelompok milenial belum memiliki rumah. Jika dikelompokkan berdasarkan usia, hanya 38 persen dari mereka yang berusia 26 hingga 30 tahun memiliki rumah. 

Pada kelompok usia 31 hingga 35 tahun, persentase yang memiliki rumah meningkat sedikit menjadi 40 persen. Namun, pada kelompok usia 35 hingga 40 tahun, terdapat 44 persen milenial yang tidak memiliki rumah. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan rumah menjadi semakin sulit dijangkau bagi generasi muda (https://kompas.com, 28 Desember 2023).

Ketimpangan dalam kepemilikan rumah di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan multidimensi, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. 

Ketimpangan ini dapat terjadi karena berbagai faktor, termasuk perbedaan pendapatan, akses terhadap kredit, harga properti (lahan dan bangunan) yang terus meningkat, serta kebijakan pemerintah yang mungkin lebih menguntungkan kelompok tertentu.

Keterbatasan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan harga tanah dan rumah di ibu kota Indonesia ini menjadi sangat mahal. 

Sumber gambar: Kompas.id
Sumber gambar: Kompas.id

Tingginya harga properti ini menciptakan ketimpangan kepemilikan hunian yang sulit untuk diatasi, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Kondisi ini memperburuk ketidakadilan sosial-ekonomi dan mempengaruhi kualitas hidup banyak orang.

Dengan permintaan yang terus meningkat dan pasokan lahan yang terbatas, harga properti terus melonjak drastis. Misalnya di Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan, menawarkan berbagai peluang pekerjaan dan bisnis, menarik penduduk dari berbagai daerah. 

Namun, keterbatasan lahan mengakibatkan tingginya biaya properti, yang hanya dapat diakses oleh kalangan yang memiliki sumber daya finansial besar. 

Hal ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara mereka yang mampu membeli properti dan mereka yang harus puas dengan menyewa atau tinggal di daerah yang kurang strategis dan memiliki fasilitas yang minim.

Ketimpangan kepemilikan hunian ini berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari penduduk. Mereka yang tidak mampu membeli rumah harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk biaya sewa yang tinggi, kondisi hunian yang tidak layak, dan lokasi tempat tinggal yang jauh dari pusat kota, yang meningkatkan waktu dan biaya transportasi. 

Selain itu, ketidakpastian dalam status kepemilikan hunian membuat banyak orang tidak dapat menikmati stabilitas dan keamanan yang datang dengan memiliki rumah sendiri.

Kesimpulan

Kepemilikan rumah di Indonesia mencerminkan realitas sosial dan ekonomi yang kompleks dan sering kali tidak seimbang. Kelas atas menikmati kemewahan dan kenyamanan dalam hunian mereka, sementara kelas menengah ke bawah harus puas dengan rumah yang lebih sederhana dan efisien dan bahkan tinggal di rumah dengan status kontrak, bebas sewa, atau tinggal bersama orang tua. 

Ketimpangan dalam akses dan kemampuan untuk memiliki rumah menunjukkan perlunya perhatian dan tindakan dari pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengatasi kesenjangan ini.

Upaya untuk meningkatkan akses terhadap perumahan yang layak, terutama bagi kelas menengah ke bawah dan generasi milenial, harus menjadi prioritas. 

Kebijakan perumahan yang inklusif dan berkelanjutan, serta program bantuan pembiayaan yang tepat, dapat membantu mengurangi ketimpangan ini dan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan untuk tinggal di rumah yang layak dan nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun