Agresifitas Kolektif dalam Kasus Kekerasan Massa di Indonesia
Beberapa pekan lalu, pada Kamis, 06 Juni 2024, seorang pemilik rental mobil asal Jakarta, BH (52), tewas dikeroyok warga di Pati, Jawa Tengah, karena dikira maling. Tiga orang lainnya juga mengalami luka-luka akibat pemukulan itu (Kompas.id, 12 Juni 2024).
Peristiwa ini bukan sekadar insiden kekerasan yang fatal, bahwa dikeroyok oleh massa hingga meninggal dunia setelah diteriaki maling, namun akhirnya ketahuan bahwa yang dipukuli adalah pemilik mobil yang sah, semacam kemarahan kolektif yang terpendam dan diluapkan kepada pencuri.
Bila dilihat, kasus pengeroyokan ini terlihat jelas massa yang memukul korban bukan dengan tujuan mencegah pencurian, tapi ibaratnya melampiaskan amarah mengarah pada upaya penghilangan nyawa seseorang.
Sejatinya, jika ada orang yang teriak maling, warga seharusnya berpikir dulu apakah dia benar-benar maling. Kemudian, seharusnya warga melakukan upaya untuk pencegahan. Selanjutnya segera diserahkan kepada pihak yang berwajib dan itu berlaku untuk pencurian apapun.Â
Namun, atas kasus ini kemudian memberi gambaran dan cerminan secara mendalam mengenai kompleksitas perilaku kolektif masyarakat yang cukup agresif dalam merespon terhadap situasi krisis. Lebih jauh lagi, perilaku agresifitas kolektif yang muncul dalam insiden ini mencerminkan dinamika psikologis dan sosial yang membutuhkan perhatian serius.
Perilaku Agresifitas Kolektif sebagai Manifestasi Frustrasi Sosial
Perilaku agresifitas kolektif mengacu pada tindakan agresif yang dilakukan oleh sekelompok orang secara bersama-sama. Ini adalah bentuk perilaku di mana individu-individu dalam suatu kelompok bertindak dengan cara yang lebih agresif atau destruktif dibandingkan jika mereka bertindak sendiri-sendiri. Perilaku ini sering kali dipicu oleh dinamika kelompok yang kompleks dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, psikologis, dan situasional (Kartono, 2009).
Dengan demikian, kekerasan massa seperti yang terjadi dalam kasus ini, sering kali berakar pada kemarahan kolektif yang tersembunyi di masyarakat. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori psikologi sosial yang mengidentifikasi bagaimana individu dalam kerumunan bisa kehilangan rasa tanggung jawab pribadi dan bertindak secara impulsif dan destruktif.Â
Dalam konteks Indonesia, kemarahan ini dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk ketidakpuasan terhadap situasi ekonomi, frustrasi akibat kesulitan mendapatkan pekerjaan, serta ketidakmampuan untuk mengakses pendidikan berkualitas.
Perilaku agresifitas kolektif biasanya terjadi ketika individu-individu dalam kelompok merasakan ketidakadilan atau tekanan yang sama, yang kemudian memicu aksi agresif yang seolah-olah mendapat legitimasi dari kerumunan. Dalam situasi di mana massa merasa memiliki kekuasaan untuk menegakkan 'keadilan' sendiri, tindakan kekerasan menjadi lebih mudah terjadi.Â
Kondisi ekonomi yang semakin sulit, dengan harga komoditas yang terus meningkat dan kesempatan kerja yang semakin terbatas, menciptakan tekanan besar bagi banyak individu. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar sering kali menghasilkan frustrasi yang mendalam. Ketika ada insiden yang memicu emosi, seperti teriakan maling, kemarahan ini dapat dengan mudah meledak menjadi kekerasan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!