Laut Kita yang Tak Asin Lagi?
Pada setiap tanggal 8 Juni yang lalu, dunia merayakan Hari Laut Sedunia. Laut bukan hanya hamparan air yang luas, tetapi sumber kehidupan yang penting bagi manusia. Ia menyediakan makanan, obat-obatan, serta memainkan peran vital sebagi potensi maritim dalam menggerakan pembangunan dan sekaligus dalam menjaga iklim bumi.Â
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki garis pantai yang panjang dan potensi maritim yang melimpah. Salah satu komoditas penting yang seharusnya dapat dihasilkan dari laut yang luas ini adalah garam.Â
Garam sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun berbagai industri seperti makanan dan minuman, kimia, dan pangan.Â
Namun, ironisnya, Indonesia masih harus mengimpor garam dari berbagai negara, termasuk Australia, India, Selandia Baru, China, Denmark, Jerman, dan Thailand. Di balik kekayaan laut, Indonesia menghadapi paradoks yang mencolok: negeri kepulauan ini masih harus mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bagaimana bisa negara yang dikelilingi oleh laut masih bergantung pada impor garam?Â
Sejak pandemi Covid-19, produksi garam lokal terus menurun, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan industri. Â Indonesia memiliki kebutuhan garam yang besar, tetapi produksi lokal masih jauh dari memadai. Pada 2023, Indonesia mengimpor garam senilai US$ 135,3 juta atau setara dengan 2,8 juta ton (https://www.cnbcindonesia.com, 16 Januari 2024).
Garam ini sebagian besar berasal dari Australia, India, Selandia Baru, Jerman, dan Thailand. Produksi garam lokal berkisar antara 1,5 hingga 2 juta ton per tahun, yang jelas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Salah satu masalah utama adalah kualitas garam lokal yang rendah, tidak sesuai dengan standar industri (https://databoks.katadata.co.id, 03 Agustus 2023).Â
Meskipun Presiden Joko Widodo telah meminta impor garam distop pada 2024, namun produksi garam lokal masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Garam rakyat yang diproduksi oleh petani lokal hanya cocok untuk kebutuhan rumah tangga karena kadar NaCl yang rendah dan kualitas fisik yang tidak memenuhi standar (https://www.cnnindonesia.com, 16 Maret 2021).
Produksi Garam Lokal: Tantangan dan Keterbatasan
Penurunan produksi garam lokal disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, teknik produksi tradisional yang masih bergantung pada cuaca sangat rentan terhadap perubahan iklim. Produksi garam dapat berkurang drastis ketika cuaca tidak mendukung, membuat produksi menjadi sangat tidak stabil.
Kedua, keterbatasan lahan produksi dengan luas hanya sekitar 21.348 hektar yang hanya mampu menghasilkan 60-80 ton garam per hektar. Untuk memenuhi kebutuhan garam industri, diperlukan lahan minimal 37.000 hektar dengan produksi 80 ton per hektar (https://www.cnnindonesia.com, 16 Maret 2021).
Ketiga, kualitas garam rakyat yang dihasilkan belum memenuhi standar kualitas garam industri. Kadar NaCl yang rendah dan kualitas fisik yang tidak memenuhi standar SNI membuat garam rakyat tidak sesuai untuk kebutuhan industri.Â