Mohon tunggu...
Hen AjoLeda
Hen AjoLeda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Ketidaksesuaian Harga Gabah dan Beras serta Implikasinya bagi Petani

4 Juni 2024   22:58 Diperbarui: 5 Juni 2024   08:22 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Para petani sedang memanen padi di sawah Desa Jepangrejo, Blora, Selasa (9/3/2021)(KOMPAS.com/ARIA RUSTA YULI PRADANA)

Ketidaksesuaian Harga Gabah dan Beras dan Implikasi bagi Petani

Sektor pertanian memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan penghidupan masyarakat. Di antara berbagai komoditas pertanian, padi adalah yang paling dominan, dengan gabah (padi yang belum digiling) dan beras (hasil penggilingan padi) sebagai produk utamanya. 

Sebagai aspek vital dalam sektor pertanian dan pangan, harga gabah dan beras menjadi penentu kesejahteraan petani dan stabilitas ekonomi pangan nasional. Artinya bahwa harga gabah yang diterima petani sangat menentukan pendapatan mereka. 

Ketika harga gabah tinggi, petani dapat menikmati pendapatan yang lebih besar, yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Sebaliknya, harga gabah yang rendah sering kali menyebabkan pendapatan petani menurun, memaksa mereka untuk berjuang memenuhi kebutuhan dasar.

Pendapatan yang cukup memungkinkan petani untuk berinvestasi kembali dalam pertanian mereka, membeli benih berkualitas, pupuk, dan peralatan yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas.

Dengan demikian, stabilitas harga yang lebih baik memberikan jaminan pendapatan yang lebih konsisten, memungkinkan keluarga petani untuk merencanakan masa depan mereka dengan lebih baik. Namun, ketika fluktuasi harga yang tajam dapat menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang signifikan. 


Ketika harga gabah turun secara drastis, petani mungkin menghadapi kesulitan keuangan yang mempengaruhi pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya. Ini berarti, kesejahteraan petani cukup bergantung pada stabilitas harga gabah.

Kendati demikian, dalam beberapa bulan terakhir, terjadi pergeseran signifikan pada harga gabah kering panen (GKP) dan harga eceran tertinggi (HET) beras yang menimbulkan keluhan dari kalangan petani.

Beberapa laporan menunjukkan, harga gabah yang diterima petani saat ini masih jauh dari kata menguntungkan. Harga gabah yang berkisar antara Rp6.000 hingga Rp6.400 per kilogram (kg) dinilai hanya mampu menutupi biaya produksi, tanpa memberikan keuntungan yang layak bagi petani. 

Menurut laporan dari Serikat Petani Indonesia (SPI) harga gabah yang diterima petani saat ini belum memadai. Dengan harga produksi gabah yang hanya mencapai Rp6.000 per kg, tidak memberikan margin keuntungan bagi petani, jika petani menjual gabah dengan harga jual di kisaran tersebut.

Situasi ini memaksa petani untuk beroperasi tanpa keuntungan, hanya cukup untuk menutupi biaya produksi. Kondisi ini menjadi semakin ironis mengingat kenaikan harga beras yang seharusnya dapat meningkatkan pendapatan petani melalui harga gabah yang lebih tinggi.

Sementara disisi yang lain, pemerintah telah memperpanjang kenaikan HET beras medium dan premium, yang malah dinilai lebih menguntungkan perusahaan besar daripada petani. Bahwasannya, perpanjangan kenaikan HET beras medium dan premium oleh pemerintah melalui Bapanas diharapkan dapat memberikan fleksibilitas kepada pelaku usaha dan petani.

Kebijakan perpanjangan kenaikan HET beras yang diterapkan oleh Bapanas merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi tantangan pasokan dan harga pangan. 

Sebagaimana dikatakan Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, bahwa kebijakan ini dirancang untuk memberikan fleksibilitas kepada pelaku usaha dan petani, sekaligus memberikan jaminan kepada konsumen untuk mendapatkan beras dengan harga terjangkau. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mengatasi fluktuasi harga komoditas global dan perubahan iklim yang memengaruhi produksi pangan nasional.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini lebih menguntungkan perusahaan besar yang memiliki akses langsung ke petani dan pabrik pengolahan gabah. Ditemukan banyak perusahaan besar membeli gabah secara langsung dari petani, memotong peran Perum BULOG dalam proses ini. Dengan demikian, keuntungan dari kenaikan harga beras cenderung mengalir ke perusahaan besar yang memiliki jaringan ritel bisnis yang kuat, daripada petani kecil.

Situasi ini menciptakan ketidaksesuaian harga yang signifikan, di mana harga beras yang tinggi tidak berbanding lurus dengan harga gabah yang diterima petani. Perusahaan besar dengan kapasitas pengolahan dan distribusi yang tinggi mampu mengambil keuntungan maksimal dari kebijakan kenaikan HET, sementara petani tetap terjebak dalam siklus harga rendah untuk gabah mereka.

Organisasi Serikat Petani Indonesia (SPI) telah mengusulkan kepada Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp7.000 per kg. 

Usulan ini bertujuan untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi petani, memastikan mereka mendapatkan imbalan yang layak atas kerja keras mereka. Namun, hingga kini, harga gabah tetap stagnan di level yang tidak menguntungkan.

Ketidakseimbangan antara harga gabah dan beras mencerminkan perlunya peninjauan kembali kebijakan yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan harga yang diterapkan tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga adil dan berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan, terutama petani kecil.

Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan normalisasi harga gabah dan beras yang menguntungkan petani kecil yang paling dominan di republik ini. Sebagai tulang punggung produksi pangan nasional, petani perlu mendapatkan perhatian khusus dalam penetapan kebijakan harga yang adil dan berkelanjutan.

Dalam jangka panjang, dengan normalisasi harga pangan, kemudian dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk bagi mereka berkerja dengan upah tidak tetap, atau kelas pekerja miskin kota/pedesaan yang tidur dengan perut kosong.

Oleh karenanya, selain solusi teknis seperti penguatan peran BULOG dalam perannya sebagai stabilisator harga, perlu kebijakan penetapan harga pembelian dan penjualan yang adil dan menguntungkan para petani, bukan menguntungkan pengusaha besar atau kapitalis pangan. 

Penetapan ini harus didasarkan pada biaya produksi, dan bila perlu harga ditentukan sendiri oleh petani, bukan oleh pasar atau kapitalis, dengan harga yang realistis dan memberikan margin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi petani, sehingga distribusi keuntungan yang lebih merata dan konsumen memperoleh beras dengan harga terjangkau.

Di samping itu juga perlu penguatan dan pengembangan jaringan koperasi petani yang kuat, efisiensi produksi melalui penyediaan teknologi pertanian yang lebih baik, akses ke kredit dengan bunga rendah, dan pelatihan atau pendampingan bagi petani, akses ke pasar lokal dan regional, untuk memangkas monopoli anarki kapitalis besar. 

Harga bukanlah sekedar nominal angka rupiah, tapi harga adalah kuasa, jika negara peduli pada petani, maka muliakan petani dengan harga yang adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun