Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Student Loan: Solusi atau Beban Baru bagi Pembiayaan Pendidikan di Indonesia?

3 Juni 2024   20:37 Diperbarui: 3 Juni 2024   20:42 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://www.pajak.com

Student Loan: Solusi atau Beban Baru bagi Pembiayaan Pendidikan di Indonesia?

Pendidikan merupakan investasi jangka panjang, yang selalau diletakan sebagai instrumen mobilitas sosial vertikal. Artinya bahwa, investasi dalam pendidikan tidak hanya memberi manfaat langsung berupa pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga berkontribusi pada mobilitas sosial vertikal, yaitu peningkatan status sosial dan ekonomi seseorang dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sebagai sebuah investasi, pendidikan selalu memerlukan perencanaan keuangan yang matang. Pendidikan, terutama pendidikan tinggi, sering kali memerlukan biaya yang besar. Ini mencakup biaya kuliah, buku, akomodasi, transportasi, dan kebutuhan sehari-hari. Hal ini berarti, tanpa perencanaan yang tepat, biaya-biaya ini dapat menjadi beban yang signifikan bagi keluarga.

Kedati demikian, di era liberalisasi ekonomi global, jumlah konsumsi rumah tangga khususnya menengah ke bawah untuk biaya pendidikan terus menurun. Hal ini bukan karena setiap rumah tangga tidak memiliki perencanaan keuangan yang mantang, namun lebih karena orangtua Indonesia mengalami beban ganda ekonomi ketika berhadapan dengan kenyataan kapitalisasi dan komodifikasi pendidikan.

Protes terhadap kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang diwacanakan baru-bari ini cukup memberi bukti atas fakta beban ganda ekonomi orang tua Indonesia. Di samping meningkatnya biaya hidup yang menguras dompet, penghasilan atau gaji orang tua sering kali tidak mengalami kenaikan yang sepadan. 

Selain daya beli untuk kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan perumahan menurun, kemampuan orang tua untuk mengalokasikan dana untuk pendidikan bagi anaknya di masa depan makin sulit. Rata-rata hampir semua keluarga di Indonesia tidak mampu menuntaskan kuliah anaknya hingga lulus, meskipun sudah menyiapkan dana pendidikan sejak dini (Kompas.id, 28 Juli 2022).

Menyikapi persoalan ini, berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah. Selain melalui beragam program beasisiwa yang telah dikuncurkan bagi masyarakat yang berkebutuhan, pemerintah dalam rencananya akan mendesai model pembiayaan pendidikan bagi para orang tua, yakni melalui produk pinjaman keuangan yang dikenal sebagai student loan.

Student Loan yang ditawarkan kepada orang tua mahasiswa untuk membantu mereka menutupi biaya pendidikan. Pinjaman ini dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, seperti biaya kuliah, buku, peralatan kuliah, dan biaya hidup sehari-hari, sehingga diharapkan dapat meringankan beban finansial orang tua mahasiswa selama menempuh pendidikan.

Konsep Student Loan disinyalir diadopsi dari beberapa negara dunia seperti di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, Swedia, Jerman, Prancis, hingga Korea Selatan.

Kendati demikian, konsep mengenai Student Loan masih menuai polemik yang terus meningkat. Beberapa pihak menyikapi wacana studen Loan yang berkaitan dengan penerapan sistem pinjaman pendidikan tinggi bagi mahasiswa untuk mengatasi biaya kuliah, dilihat sebagai pisau bermata dua, khususnya bagi mahasiswa dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Beberapa pakar pakar pendidikan dan pengamat berpendapat bahwa Student Loan tidak efektif untuk mengatasi kenaikan UKT karena bisa menjadi beban ganda bagi mahasiswa yang harus membayar utang dan bunga setelah lulus, mengganggu karier mahasiswa dan mengurangi akses pendidikan bagi yang kurang mampu karena harus mengembalikan pinjaman tersebut.

Edi Subkhan, seorang pakar pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, mengungkapkan bahwa Student Loan bisa berdampak negatif bagi mahasiswa dan negara. Ia mencontohkan penerapan Student Loan di Amerika Serikat yang akhirnya menjadi beban bagi negara akibat tingginya angka gagal bayar, dan khawatir hal serupa terjadi di Indonesia.

Hingga saat ini, wacana mengenai Student Loan di Indonesia masih dalam tahap diskusi para pemangku kepentingan dan belum ada keputusan yang diumumkan. Namum beberapa pihak menyarankan agar Student Loan dikelola melalui bank pelat merah untuk menghindari beban yang seringkali ditimbulkan oleh pinjaman online (pinjol) bagi mahasiswa. Ada pula yang berpendapat bahwa pinjaman pendidikan ini bisa saja diterapkan, asalkan tidak dikenakan bunga.

Menyikapi polemik terkait wacana Student Loan ini disamping plus minusnya, saya melihat bahwa Student Loan merupakan bagian dari sistem kapitalisme menciptakan produk finansial agar sirkulasi kapital tetap berjalan.

Kapitalis finansial (seperti bank dan lembaga keuangan) menyediakan pinjaman kepada orang tua mahasiswa. Para orang tua mahasiswa ini kemudian menggunakan dana tersebut untuk membayar biaya proses produksi cadangan tenaga kerja (mahasiswa) selama menempuh pendidikan, temasuk biaya kebutuhan hidup sehari-hari selama kuliah.

Selain memegang peran kunci dalam menyediakan modal yang diperlukan untuk keperluan kuliah, kapitalis finansial memiliki kontrol dan kepengaturan untuk mengatur kondisi kredit, tingkat bunga, dan jadwal pembayaran. Setelah lulus, para orang tua mahasiswa harus membayar kembali pinjaman tersebut beserta bunga. 

Dengan kontrol dan kepengaturan ini, kemudian akan menjadi siklus di mana kapital terus bergerak melalui utang dan pembayaran, menciptakan jaringan sirkulasi kapital yang kompleks dalam sektor pendidikan, yang menghubungkan mahasiswa, lembaga pendidikan, dan kapitalis finansial.

Menempuh pendidikan atau kuliah sebagai proses peningkatan "kapasitas cadangan tenaga kerja". Setelah lulus kuliah, para cadangan tenaga kerja ini kemudian akan "dibeli" oleh kapitalisme jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk bekerja dalam sektor inti produktifitas kapitalis (pekerja formal). 

Demikian juga sebagian dari mereka yang tidak bekesempatan menjadi pekerja formal, akan terpaksa bekerja di luar sektor inti produktifitas kapitalis (pekerja informal) seperti bekerja sebagai ojol, pedagang, dan lainnya. 

Jika nasipnya betepuk sebalah tangan (bangkrut atau gulung tikar), mereka kemudian menjadi surplus populasi relatif yakni kombinasi antara pengangguran dan proletriat informal baik di pedesaan atau perkotaan, yang hilir-mudik tidak menentu mencari pekerjaan atau melakukan migrasi, baik di desa-kota atau terbang dan berlayar ke luar negeri untuk mencari pekerjaan guna sekedar bertahan hidup (Muchtar Habibi, 2016).

Pertanyaan lebih lanjut adalah, apabila skema Student Loan benar-benar diterapkan di Indonesia, apakah mampu mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi yang telah mengkondisikan rendahnya akses terhadap pendidikan karena biaya yang terus meningkat, kemiskinan, kesempatan atas kerja dan upah kerja yang layak, serta segala persoalaan yang mendera sebagian besar rakyat Indonesia ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun