Cerita Para Laskar Pencari Air
Pada suatu malam minggu , tujuh tahun yang sialm, di sudut Cafe Lico, Jln. Bima, Kec. Banguntapan, Kab. Bantul, Yogyakarta, kami bertiga berkumpul di antara hiruk-pikuk dan gemercik hujan yang terus bernyanyi.Â
Secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok menemani diskusi kami yang penuh semangat. Kami adalah laskar pencari air Yasir dari Kalimantan, Ali dari Halmahera, dan saya dari Flores.
Yasir membuka perbincangan dengan cerita tentang hutan di kampung halamannya. "Hutan kami dulu rimbun, penuh pohon yang tak terhitung jumlahnya," kenangnya sambil mengepulkan asap cerutu.Â
Masyarakat adat hidup nomaden, merawat alam dengan penuh kasih. Namun, kini hutan-hutan itu hancur akibat ekspansi kapitalisme. Yasir mengisahkan bagaimana perusahaan-perusahaan besar merusak ekosistem yang telah ada selama berabad-abad, memaksa masyarakat adat meninggalkan cara hidup mereka yang berkelanjutan.
Kerusakan lingkungan di Kalimantan bukanlah cerita baru. Data menunjukkan bahwa deforestasi di Kalimantan mencapai ratusan ribu hektar setiap tahunnya, sebagian besar untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan .
Yasir menjelaskan bahwa hutan-hutan yang dulu menjadi penopang hidup kini menjadi lahan kosong yang terbengkalai. "Masyarakat adat kami mati perlahan," ujarnya sedih.
Ali dari Halmahera mengisahkan cerita yang tak jauh berbeda. Tanah leluhur mereka telah dicaplok oleh negara dan perusahaan, menciptakan pagar berduri yang mengkapling petak-petak tanah. "Negara dan swasta berkolusi untuk mengeksploitasi rakyat," katanya getir.Â
Di Halmahera, tanah yang dulu subur kini berubah menjadi lahan tandus akibat aktivitas pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam. Ali menambahkan bahwa konflik agraria di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.
Saya pun bercerita tentang kampung halaman di Flores, di mana seribu mata air menghidupi kehidupan sehari-hari. Setiap pagi, kami anak-anak berenang di sungai, bernyanyi dan bercanda.Â
Namun, ancaman pembangunan semakin nyata. Gubernur berjanji akan memberikan pendidikan dan pekerjaan jika kami menyerahkan tanah, tetapi kami tahu itu hanyalah ilusi.
Seribu mata air yang menjadi sumber kehidupan kami terancam hilang karena pembangunan dan perambahan hutan yang tidak berkelanjutan.
Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 60% sungai di Indonesia terancam oleh kegiatan manusia, termasuk pembangunan infrastruktur dan konversi lahan.Â
Di Flores, pembangunan besar-besaran mengancam sumber air yang selama ini menjadi tulang punggung pertanian dan kehidupan masyarakat. Kami harus melawan, meski tantangan semakin besar.
Diskusi kami terus berlanjut, membahas bagaimana kapitalisme merusak alam dan budaya. Yasir melanjutkan argumennya tentang romantisme kebudayaan yang dikonstruksi oleh negara untuk menjustifikasi penggusuran masyarakat adat.Â
"Masyarakat adat kini hanya menjadi cerita narasi sejarah," katanya. Proses penghancuran dilakukan secara sistemik, menindas hak-hak asli demi akumulasi keuntungan.
Ali menambahkan bahwa di Halmahera, pemerintah dan otoritas informal bersekongkol untuk mengeksploitasi rakyat. "Mereka menukar tanah dengan ilusi kemajuan," ujarnya.Â
Sementara itu, saya menceritakan tentang seribu mata air di kampung yang kini terancam oleh pembangunan. Kami berbagi keresahan yang sama, kekhawatiran akan masa depan yang suram jika tanah-tanah ini terus dirampas.
Di tengah ketidakadilan, muncul gerakan-gerakan perlawanan dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan. Di Kalimantan, masyarakat adat berjuang mempertahankan hutan mereka melalui aksi protes dan advokasi hukum.Â
Di Halmahera, komunitas lokal bekerja sama dengan LSM untuk melindungi tanah mereka dari eksploitasi. Pun demikian di Flores, kami berupaya menjaga mata air dengan melakukan konservasi dan penanaman kembali hutan.
Kami adalah laskar pencari air, berjuang untuk mempertahankan sumber kehidupan kami, menjaga tanah dan budaya leluhur, meski tantangan semakin besar. Karena di balik setiap perjuangan, ada harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana seribu mata air akan tetap mengalir, dan hutan-hutan akan kembali rimbun.
Di luar Cafe Lico, gerimis terus menyanyikan lagunya dan enggan berhenti. Kami pun enggan mengakhiri diskusi, meski malam semakin larut. Di tengah asap cerutu dan hiruk-pikuk keramaian, kami memarodikan kehidupan yang didisiplinkan oleh kapitalisme.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H