Seribu mata air yang menjadi sumber kehidupan kami terancam hilang karena pembangunan dan perambahan hutan yang tidak berkelanjutan.
Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 60% sungai di Indonesia terancam oleh kegiatan manusia, termasuk pembangunan infrastruktur dan konversi lahan.Â
Di Flores, pembangunan besar-besaran mengancam sumber air yang selama ini menjadi tulang punggung pertanian dan kehidupan masyarakat. Kami harus melawan, meski tantangan semakin besar.
Diskusi kami terus berlanjut, membahas bagaimana kapitalisme merusak alam dan budaya. Yasir melanjutkan argumennya tentang romantisme kebudayaan yang dikonstruksi oleh negara untuk menjustifikasi penggusuran masyarakat adat.Â
"Masyarakat adat kini hanya menjadi cerita narasi sejarah," katanya. Proses penghancuran dilakukan secara sistemik, menindas hak-hak asli demi akumulasi keuntungan.
Ali menambahkan bahwa di Halmahera, pemerintah dan otoritas informal bersekongkol untuk mengeksploitasi rakyat. "Mereka menukar tanah dengan ilusi kemajuan," ujarnya.Â
Sementara itu, saya menceritakan tentang seribu mata air di kampung yang kini terancam oleh pembangunan. Kami berbagi keresahan yang sama, kekhawatiran akan masa depan yang suram jika tanah-tanah ini terus dirampas.
Di tengah ketidakadilan, muncul gerakan-gerakan perlawanan dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan. Di Kalimantan, masyarakat adat berjuang mempertahankan hutan mereka melalui aksi protes dan advokasi hukum.Â
Di Halmahera, komunitas lokal bekerja sama dengan LSM untuk melindungi tanah mereka dari eksploitasi. Pun demikian di Flores, kami berupaya menjaga mata air dengan melakukan konservasi dan penanaman kembali hutan.
Kami adalah laskar pencari air, berjuang untuk mempertahankan sumber kehidupan kami, menjaga tanah dan budaya leluhur, meski tantangan semakin besar. Karena di balik setiap perjuangan, ada harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana seribu mata air akan tetap mengalir, dan hutan-hutan akan kembali rimbun.
Di luar Cafe Lico, gerimis terus menyanyikan lagunya dan enggan berhenti. Kami pun enggan mengakhiri diskusi, meski malam semakin larut. Di tengah asap cerutu dan hiruk-pikuk keramaian, kami memarodikan kehidupan yang didisiplinkan oleh kapitalisme.Â