Sebagaimana yang terjadi pada sopir bus Trans Putera Fajar Sadira (50) yang pada akhirnya  ditetapkan sebagai tersangka dalam kecelakaan rombongan SMK Lingga Kencana.Â
Sadira dinyatakan bersalah karena, Â terbukti lalai mengendarai bus dengan memaksakan bus untuk jalan meski mengetahui sudah rusak dan tak layak jalan (https://www.kompas.com, 15 Mei 2024).
Kemudian dari hasil pemeriksaan polisi, Sadira bukan karyawan resmi perusahaan otobus (PO), melainkan freelance. Berdasarkan interview Dirlantas Polda Jawa Barat Kombes Wibowo dengan Sadira bahwa ia bukan karyawan tetap, tapi iafreelance yang dipekerjakan oleh perusahaan apabila sewaktu waktu sopir di perusahaan itu habis (https://news.detik.com, 16 Mei 2024).
Pekerja freelance adalah individu yang bekerja untuk perusahaan tanpa ikatan peraturan yang mengikat seperti halnya karyawan tetap. Saat ini, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi freelancer, termasuk menjadi sopir.Â
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja lepas meningkat hingga 26% setiap tahunnya. Peningkatan ini terutama terjadi selama pandemi, ketika banyak orang kehilangan pekerjaan formal dan beralih ke peluang sebagai freelancer (https://www.bps.go.id, 2024).
Dalam bukunya "Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran" (2016), Muchtar Habibi menjelaskan bahwa pekerja freelance, pekerja serabutan, atau pekerja informal lainnya yang bekerja untuk perusahaan tanpa peraturan dan ikatan kerja yang jelas termasuk dalam kategori "proletariat informal".Â
Mereka bekerja di luar sektor inti dari produktivitas kapitalis, tidak menguasai sarana produksi yang memadai, dan tidak mendapatkan hak-hak dasar. Kondisi mereka rentan, sering kali terengah-engah hanya untuk bertahan hidup (Habibi, 2016).
Kajian Alnick Nathan (2019) mengenai relasi kerja informal sopir bus Metromini dan Kopaja di Jakarta mengungkapkan bahwa hubungan kerja antara pemilik dan pekerja bus bersifat informal, tanpa kontrak atau kepastian kerja yang jelas.Â
Pemilik bus mempekerjakan sopir melalui perjanjian informal tentang setoran harian yang harus dibayar sebagai biaya sewa bus.
Mengacu pada karya Matteo Rizzo (2017), Alnick Nathan (2019) menjelaskan bahwa sistem kerja tanpa kontrak membuat pekerja bus, baik sopir maupun kondektur, berada dalam posisi rentan.Â
Tanpa kontrak dan kepastian kerja, mereka tidak dapat menuntut hak-hak buruh seperti upah minimum atau batasan waktu kerja. Surplus tenaga kerja juga memungkinkan pemilik bus menetapkan setoran harian yang tinggi karena mereka dapat dengan mudah menggantikan sopir (Nathan, 2019).