Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Tinggi di Indonesia: antara Komodifikasi dan Tuntutan Demokrasi

19 Mei 2024   12:50 Diperbarui: 19 Mei 2024   12:55 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://transisi.org

Pada tahun 2005, PP No. 23 mengatur penerapan pola keuangan Badan Layanan Umum (BLU) di PTN, yang memberikan fleksibilitas lebih dalam pengelolaan keuangan dan mendorong efisiensi berbasis kinerja. Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2005 tentang Subsidi Silang Biaya Operasional Pendidikan Tinggi memperkenalkan sistem subsidi silang untuk mendukung operasional PTN. PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan semakin memperjelas komitmen pemerintah terhadap pendekatan baru dalam pendanaan pendidikan tinggi.

Meskipun Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tahun 2009 dibatalkan setelah mendapat banyak perlawanan, upaya liberalisasi pendidikan terus berlanjut. Pengesahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU DIKTI) dan peraturan turunannya, seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT), menunjukkan arah kebijakan yang konsisten. Kebijakan-kebijakan ini mendorong PTN untuk mengadopsi sistem pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel, otonom, mandiri dan berbasis kinerja (Subkhan & Panimbang, 2009)

Transformasi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia sejak era Soeharto hingga reformasi mencerminkan perubahan paradigma yang signifikan. Dari pendekatan yang berfokus pada penyediaan tenaga kerja terampil untuk industri, kebijakan pendidikan tinggi telah beralih menuju liberalisasi dan efisiensi. Proyek-proyek internasional dan kebijakan nasional yang mengiringinya menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menyesuaikan sistem pendidikan tinggi Indonesia dengan standar global.

Namun, liberalisasi pendidikan tinggi ini juga menimbulkan berbagai tantangan. Otonomi dan fleksibilitas yang diberikan kepada PTN di satu sisi dapat meningkatkan efisiensi dan relevansi pendidikan, namun di sisi lain juga dapat meningkatkan beban biaya pendidikan bagi mahasiswa.

Pada era Presiden Jowidodo, Kemendikbudristek mendorong perguruan tinggi negeri untuk bertransformasi menjadi PTN-BH. Hal tersebut sesuai dengan kebijakan Kampus Merdeka yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (https://www.arahjuang.com, 2020).

Sebanyak 21 kampus negeri di Indonesia menyandang status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum atau PTN-BH hingga kini. Dari deretan kampus tersebut, sebanyak lima di antaranya pada 20 Oktober 2022 baru ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. Salah satu kebijakan yang nampak mencolok kapitalistik era Jokowidodo adalah UU Cipta Kerja, khususnya dalam paragraf 12 yang membahas pendidikan dan kebudayaan di pasal 65, menetapkan bahwa perizinan di sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan usaha (https://www.arahjuang.com, 2020).

Hal ini mendorong perguruan tinggi untuk beralih ke model corporate university (PTN-BH), yang menuntut mereka menjadi lebih mandiri dan kompetitif. Dengan regulasi ini, kemudian perguruan tinggi diberikan keleluasaan untuk mencari dana sebesar-besarnya dari masyarakat atau melalui kerjasama dengan pihak swasta, dengan alasan berkurangnya anggaran dari negara.

Konsekuensi dari regulasi ini adalah peningkatan biaya pendidikan secara konsisten setiap tahunnya, yang didorong oleh praktik komersialisasi dan privatisasi. Riset dan aktivitas akademik semakin dikomodifikasi, dengan fokus pada hilirisasi penelitian dan kerjasama dengan korporasi. Metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan juga mengalami manufakturisasi dengan program Kampus Merdeka (https://www.arahjuang.com, 2020).

Hampir empat tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan, investasi dan kemudahan bisnis yang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja ternyata tidak membawa dampak signifikan. Menurut data World Employment and Social Outlook (WESO) pada 2022, angka pengangguran di Indonesia diperkirakan mencapai 6,1 juta orang, meningkat sebesar 1,2 juta orang dibandingkan tahun-tahun sebelum UU Cipta Kerja disahkan (https://www.ilo.org, 2022).

Kemudian menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Agustus 2023, terdapat 9,9 juta anak muda Indonesia berusia 15 hingga 24 tahun (Gen Z) yang termasuk kategori Not in Employment, Education, and Training (NEET) atau tidak bekerja, tidak menjalani pendidikan, dan tidak mendapatkan pelatihan (https://www.kompas.com, 18 Mei 2024).

Angka ini setara dengan 22,25 persen dari total 44,7 juta anak muda dalam kelompok usia tersebut. Dari jumlah ini, 5,2 juta berada di perkotaan dan 4,6 juta di pedesaan. Jika dilihat dari jenis kelamin, perempuan NEET mencapai 5,73 juta orang (26,54 persen) dan laki-laki 4,17 juta orang (18,21 persen). Berdasarkan usia, yang paling banyak adalah usia 20-24 tahun dengan 6,46 juta orang, sementara usia 15-19 tahun berjumlah 3,44 juta orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun