Namun, serikat pekerja ini lebih berfungsi sebagai alat untuk mencengkram kelas buruh dan mempertahankan kekuasaan politik. Banyak pengurus SPSI di tingkat pabrik diisi oleh militer atau anggota Partai Golkar.
Dampak Terhadap Buruh dan Masyarakat
Dalam kerangka HIP, upah buruh diatur sedemikian rupa untuk memastikan stabilitas ekonomi dan politik. Namun, hal ini sering kali mengakibatkan kondisi buruh yang tidak memadai. Pada tahun 1970-an, upah rata-rata buruh hanya sekitar Rp 400 per hari, jauh di bawah kebutuhan hidup layak.Â
Bahkan, pada 1990-an, upah minimum dihitung berdasarkan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), yang masih jauh dari cukup untuk kebutuhan dasar.
Selain upah rendah, buruh juga tidak memiliki jaminan sosial yang memadai, cuti dipotong upah, dan sering diabaikannya keselamatan kerja. Jumlah kecelakaan kerja pun meningkat, mencapai hampir 25 ribu kasus pada tahun 1989.Â
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun doktrin HIP menjanjikan hubungan industrial yang harmonis, kenyataannya buruh sering menjadi korban dalam sistem yang lebih menguntungkan pengusaha dan pemerintah.
Perlawanan dan Perkembangan Gerakan Buruh
Meskipun terjadi kontrol yang ketat terhadap serikat pekerja, gerakan perlawanan buruh tidak sepenuhnya diredam. Pada periode 1977-1980, terjadi gelombang pemogokan buruh yang menuntut upah dan kondisi kerja yang lebih baik, serta hak mogok. Namun, pemogokan ini kemudian mereda karena represi dan resesi ekonomi pada tahun 1982-1983.
Baru pada dekade 1990-an, gerakan untuk membangun serikat pekerja yang independen dan memperjuangkan hak-hak buruh mulai berkembang.Â
Meskipun dihadapkan pada tekanan politik dan represi, gerakan ini menjadi semakin kuat dan merupakan salah satu faktor yang mempercepat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Kesimpulan
Hubungan industrial di Indonesia pada era Rejim Militer Soeharto tercermin dalam doktrin HIP yang menekankan harmoni antara pengusaha, buruh, dan negara.Â
Namun, di balik retorika tersebut, kontrol terhadap serikat pekerja dan kondisi buruh yang tidak memadai menunjukkan bahwa kepentingan politik dan ekonomi rezim lebih diutamakan daripada kesejahteraan buruh.
Meskipun demikian, tidak semua upaya untuk mengendalikan buruh berhasil, dan gerakan perlawanan buruh terus berkembang, terutama pada dekade 1990-an.Â