Mohon tunggu...
Hen AjoLeda
Hen AjoLeda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Problem Fertilitas Penduduk dalam Menghadapi Bonus Demografi dan Indonesia Emas

25 April 2024   19:40 Diperbarui: 25 April 2024   19:42 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hen Ajo Leda, Pengajar Studi Kependudukan (STPM St.Ursula)

Fertilitas atau kelahiran merupakan salah satu aspek penting dalam pertumbuhan populasi suatu negara. Angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) menjadi indikator strategis dalam mengukur keberhasilan program keluarga berencana (KB) suatu negara. 

Angka standar yang diharapkan adalah 2,1, yang menandakan bahwa setiap wanita akan melahirkan rata-rata dua anak selama masa usia suburnya, sehingga dapat menjaga kestabilan populasi.

Menurut hasil survei Badan Pusat Statistik tahun 2020, TFR di Indonesia telah mencapai 2,10. Artinya, rata-rata setiap wanita akan melahirkan dua anak selama masa reproduksinya. 

Selama satu dekade terakhir, terjadi penurunan TFR sebesar 0,39, yang diyakini berkaitan dengan keberhasilan program KB yang dicanangkan sejak tahun 1970 oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 

Penurunan ini juga dianggap berhasil mencegah terjadinya lonjakan lahiran yang signifikan selama masa pandemi Covid-19, yang telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk angka kelahiran total. 

Meskipun beberapa lembaga memprediksi akan terjadi lonjakan angka kelahiran total selama pandemi, kenyataannya tidak terbukti. Sebaliknya, penurunan penggunaan alat kontrasepsi dan keterbatasan layanan kesehatan selama pandemi cenderung menyebabkan penundaan kelahiran anak, bukan lonjakan kelahiran.

Ada kekhawatiran bahwa Indonesia menghadapi resesi seks karena penurunan TFR dalam satu dekade terakhir. Namun, hal ini belum terbukti karena Indonesia masih mengalami kelebihan kelahiran bayi. Beberapa wilayah, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, dan Maluku, masih memiliki TFR yang tinggi.

Dalam konteks ini, meskipun terjadi penurunan TFR secara nasional, masih ada tantangan yang perlu diatasi di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Selain penurunan TFR, penurunan jumlah pernikahan juga menjadi isu yang patut diatasi. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, jumlah pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan signifikan.

Dalam kurun tiga tahun terakhir, jumlah pernikahan menurun sekitar dua juta, hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam pola pikir dan perilaku masyarakat terhadap memiliki anak.

Penurunan populasi bukan hanya sekadar persoalan fertilitas, tetapi juga berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Angka kesuburan total (Total Fertility Rate/TFR) menjadi indikator penting dalam menjaga keseimbangan populasi. Idealnya, TFR harus berada pada kisaran 2,1 untuk mencapai pertumbuhan populasi yang seimbang.

Fenomena penurunan angka kesuburan total (Total Fertility Rate/TFR) dan jumlah pernikahan telah menjadi perhatian utama, mengancam bonus demografi yang diharapkan dan cita-cita mencapai status "Indonesia Emas".

Bonus demografi adalah fenomena ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk yang bergantung pada mereka (anak-anak dan orang tua). Kondisi ini memberikan kesempatan besar bagi pertumbuhan ekonomi karena lebih banyak anggota tenaga kerja yang dapat meningkatkan produktivitas dan kontribusi ekonomi negara.

Namun, data menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami penurunan signifikan dalam TFR, dari 2,4 hingga 2,7 menjadi 2,1 dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini menandakan bahwa kita mungkin tidak akan dapat memanfaatkan bonus demografi sepenuhnya.

Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab penurunan TFR antara lain:

Urbanisasi: Migrasi dari pedesaan ke perkotaan mengubah pola hidup masyarakat. Di perkotaan, biaya hidup yang lebih tinggi dan ruang yang lebih terbatas dapat mendorong pasangan untuk memiliki jumlah anak yang lebih sedikit.

Pendidikan: Pendidikan yang lebih tinggi sering kali berhubungan dengan penundaan pernikahan dan kehamilan. Wanita yang mendapatkan pendidikan tinggi cenderung mengejar karier dan memprioritaskan kemandirian finansial sebelum memutuskan untuk memiliki anak.

Akses terhadap Layanan Kesehatan Reproduksi: Meskipun akses terhadap layanan kesehatan di Indonesia meningkat, masih ada tantangan dalam menyediakan layanan reproduksi yang terjangkau dan berkualitas, terutama di daerah pedesaan.

Pengaruh Media Sosial: Perubahan budaya dan pengaruh media sosial turut memengaruhi persepsi masyarakat tentang keluarga dan keinginan untuk memiliki anak.

Tantangan Menuju Indonesia Emas

Visi "Indonesia Emas" menggambarkan cita-cita untuk menjadi negara maju yang berdaulat, adil, dan makmur. Namun, tantangan dalam mencapai visi ini semakin terasa karena permasalahan dalam bidang fertilitas dan kependudukan:

Pembangunan Manusia: Untuk mencapai Indonesia Emas, diperlukan pembangunan manusia yang tangguh, yang melibatkan aspek kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup. Namun, penurunan fertilitas dapat menghambat upaya ini dengan menurunkan jumlah anak yang memasuki sistem pendidikan dan tenaga kerja.

Ketersediaan Tenaga Kerja Produktif: Bonus demografi menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, dengan penurunan fertilitas, Indonesia berisiko mengalami kekurangan tenaga kerja produktif di masa mendatang.

Peningkatan Kesejahteraan: Salah satu tujuan Indonesia Emas adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, penurunan jumlah pernikahan dan kelahiran dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan distribusi kekayaan, yang pada gilirannya mempengaruhi kesejahteraan rakyat.

Upaya Mengatasi Tantangan

Untuk menghadapi tantangan dalam bidang fertilitas dan kependudukan serta mewujudkan Indonesia Emas, beberapa upaya perlu dilakukan:

Pendidikan dan Kesadaran: Kampanye yang lebih kuat tentang pentingnya keluarga dan kesehatan reproduksi diperlukan untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap fertilitas dan pernikahan.

Kebijakan Pro-Keluarga: Pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan yang mendukung keluarga, seperti cuti orang tua yang lebih panjang, bantuan finansial untuk keluarga berencana, dan fasilitas penitipan anak yang terjangkau.

Penguatan Sistem Kesehatan: Pemerintah perlu meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas dan terjangkau untuk mendorong kesadaran akan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana.

Inovasi dalam Bidang Ekonomi dan Sosial: Diperlukan inovasi dalam kebijakan ekonomi dan sosial untuk mengakomodasi perubahan struktur penduduk yang terjadi akibat penurunan fertilitas.

Dengan demikian upaya lebih lanjut diperlukan untuk memperluas cakupan program KB dan meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, terutama di daerah-daerah yang masih memiliki TFR yang tinggi.  Selain itu, edukasi tentang pentingnya keluarga berencana dan kesehatan reproduksi juga harus terus ditingkatkan agar masyarakat dapat membuat pilihan yang tepat untuk masa depan mereka dan negara secara keseluruhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun