Dalam suatu diskusi yang diadakan di grup WhatsApp para alumni kampus, seorang teman mengemukakan pandangannya tentang arti menulis. Ia menyatakan bahwa menulis merupakan sebuah karya abadi.
Menulis adalah sebuah perbuatan yang memerlukan keberanian. Bagi mereka yang berani mengabadikan gagasannya dalam bentuk buku, mereka adalah pewaris estafet peradaban.
Banyak orang menganggap bahwa buku adalah jendela dunia, tempat untuk belajar berbagai gagasan dan memperoleh ilmu pengetahuan. Setiap buku merupakan hasil dari kerja keras, pemikiran, dan kreativitas penulis dalam perjalanan intelektualnya.
Kita seharusnya bersyukur kepada para penulis, karena mereka adalah pemberani yang mewarisi pengetahuan dari generasi ke generasi.Â
Bayangkanlah jika tidak ada orang yang berani menulis buku, bagaimana nasib dunia kita saat ini? Bagaimana jika para pemikir besar seperti Karl Marx atau Kartini tidak pernah terinspirasi oleh karya-karya yang mereka baca?
Pemikir-pemikir besar seperti Bung Karno dan Tan Malaka juga tidak akan pernah mampu menghasilkan karya-karya monumental seperti "Jas Merah" atau "Madilog" jika mereka tidak terinspirasi oleh gagasan-gagasan para pemikir sebelumnya.Â
"Buku-buku menjadi sangat penting dalam perkembangan pemikiran dan peradaban manusia"
Namun, di tengah kemajuan teknologi dan mudahnya akses informasi, praktik pembajakan buku semakin marak.Â
Buku-buku bajakan dengan mudahnya dijual di berbagai platform online, bahkan di kota-kota besar pun lapak-lapak buku bajakan menjamur.Â
Saya mengakui kalau saya pun tidak terlepas dari praktik ini, sebagai konsumen yang tertarik dengan harga murah, saya juga pernah membeli buku-buku bajakan.
Praktik pembajakan buku tidak hanya terjadi secara online, tetapi juga offline. Di lingkungan saya, praktik pembajakan buku dilakukan oleh pengusaha fotocopy yang mengambil keuntungan dari menyalin buku-buku pelajaran atau bacaan lainnya. Bahkan sejak saya masih sekolah dasar, praktik ini sudah menjadi hal yang umum.