Selama liburan semester ganjil pada periode Desember 2023 hingga Januari 2024, saya memilih untuk menghabiskan masa liburan dengan membantu Bapak di kampung menyemai pembenihan bibit padi. Meskipun bukan ahli ilmu pertanian, setidaknya saya sedikit memahami secuil taktik proses menyemai pembenihan bibit padi. Pasalnya, sebelum berkiprah di dunia "perkampusan" yang saya tekuni sekarang ini, lelah, letih, dan lesu bersawah dan berladang sudah saya rasakan.
Proses menyemai pembenihan bibit padi setidaknya melibatkan berbagai tahapan, mulai dari persiapan lahan (untuk area pembibitan) hingga penanaman bibit-bibit padi area yang telah disiapkan. Kurang lebih seperti itu, yang saya coba susun kembali dari ingatan memori.
Namun, curah hujan yang rendah pada bulan Desember-Januari telah menjadi hambatan utama dalam proses ini. Dalam waktu satu bulan, hanya terjadi dua sampai tiga kali hujan, tentu curah hujan tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan optimal bibit tanaman padi. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada lahan kami, tetapi juga dirasakan oleh petani lain di kampung, bahkan menurut surat kabar, hampir sebagian besar di Indonesia, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalaminya.
Krisis Iklim Hingga Krisis Pangan
Suhu bumi mengalami kenaikan rat-rata mencapai 1,5 derajat Celsius. Proyeksi menunjukkan kemungkinan lonjakan suhu yang lebih tinggi dalam beberapa minggu atau bulan mendatang di tahun 2024 (Kompas, 2023). Ini berarti peningkatan suhu global menyebabkan terjadinya peristiwa cuaca ekstrem seperti kekeringan, akan lebih sering terjadi dan lebih intens kedepannya. Dampak dari perubahan iklim dirasakan secara langsung oleh petani.
Naiknya suhu bumi mempengaruhi keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya alam yang menjadi dasar bagi produksi pangan. Perubahan suhu dan curah hujan yang ekstrem mengganggu pola musim tanam dan panen, menyebabkan ketidakpastian dalam produksi pangan. Hal ini menyulitkan para petani untuk merencanakan tanamannya secara optimal dan mengakibatkan penurunan kualitas serta kuantitas hasil panen. Hal ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi bagi petani, tetapi juga berdampak pada ketersediaan beras di pasar.
Ketersediaan beras yang semakin berkurang, harga beras pun terus melambung. Di pasar, harga beras mencapai 15.000/kg, sulit dijangkau oleh masyarakat yang kurang mampu. Kenaikan harga beras ini juga kemudian berdampak pada krisis dan kerawanan pangan, terutama bagi mereka yang bergantung pada beras sebagai sumber utama karbohidrat.
Langkah Adaptasi dan Perlidungan
Menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah adaptasi yang dapat dilakukan oleh petani dan pemerintah. Pertama, petani perlu meningkatkan kesiapan dalam menghadapi perubahan iklim. Hal ini bisa dilakukan melalui penerapan praktik-praktik pertanian berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan, seperti penggunaan varietas padi yang lebih tahan terhadap suhu tinggi dan kekeringan, serta pengelolaan air yang lebih efisien.
Kedua, pemerintah perlu memberikan dukungan yang lebih besar kepada petani dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Ini termasuk dalam hal penyediaan infrastruktur irigasi yang memadai, akses terhadap teknologi pertanian yang inovatif, serta program bantuan subsidi untuk mengatasi kerugian akibat gagal panen.