Sebagaimana juga disinggung oleh penulis dalam tulisan terdahulu , dengan watak dan karakter dari partai-partai politik semacam ini maka implikasinya adalah sulitnya kehadiran oposisi yang konsisten dalam mengkritik dan mengawasi pemerintahan. Oposisi yang lemah dapat berdampak negatif pada stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia, karena hilangnya cheks and balance. Dan upaya melemah dan melemahkan ruang oposisi tengah kita saksikan ini.
Selain memperkecil dan melemahkan ruang oposisi, menurut penulis, kemungkinan terjadinya tawar-menawar jabatan dan kekuasaan bakal terjadi. Bergabung bukan asal gabung, bergabung adalah kekuasaan, kira-kira demikian penulis menafsir. Biar malu menjilat ludah sendiri asalkan dapat jatah Menteri, Wakil Menteri atau jabatan lainnya. Bergabung dengan pihak yang berkuasa bukan sekadar tindakan cawe-cawe mendukung pemerinahan, tetapi merupakan strategi untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh. Para elit mungkin bersedia mengorbankan harga diri atau prinsip-prinsip dasar asalkan mereka dapat memperoleh posisi politik yang diinginkan.
Paradoks dan ironis perilaku elit politik, setelah "berdarah-darah" mengkritik atau mengecam pihak berkuasa, namun kemudian dengan cepat berbalik dan mendukung penguasa, demi kepentingan pribadi atau politik mereka sendiri. Ambisi politik dan kekuasaan sering kali dapat mengalahkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip dasar. Dengan demikian, narasi harmoni politik pasca pilpres dengan sendirinya membongkar watak asli dari elit politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H