Mohon tunggu...
Hen AjoLeda
Hen AjoLeda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Pemilu, Akankah Ada Oposisi yang Kuat?

15 Februari 2024   22:48 Diperbarui: 15 Februari 2024   23:02 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar: Kumparan.com

Menimbang hasil Quick Count yang menunjukkan perolehan suara pasangan calon Prabowo-Gibran lebih dari 56% suara, disamping tidak diikuti dengan perolehan suara  partai-partai pendukung dalam pemilihan legislatif, disinyalir oleh sebagian pengamat membuka peluang bagi penguatan oposisi. Karena menurut mereka kekuatan oposisi akan lebih besar dari pada kekuatan eksekutif, di mana jumlah suara partai non pendukung Prabowo-Gibran lebih dari 50% (Kumparan, 2024).

Sebagaimana data hitung cepat perolehan suara masing-masing partai koalisi, bahwa jumlah suara partai koalisi pengusung pasangan Anis-Muhaimin adalah kurang lebih 29 %. Sedangkan partai koalisi pengusung Prabowo-Gibran memperoleh suara kurang lebih 48 %. Sementara untuk partai pengusung Ganjar-Mahfud kurang lebih 22. 

Dengan menimbang potensi ketidakseimbangan hasil perolehan suara legislatif yang lebih besar dari pada eksekutif, maka kemungkinan akan menguatnya oposisi bagi pemerintahan ke depan.

Berbeda hasil pemilu 2019, di mana mayoritas partai politik pendukung pemerintah mendominasi di legislatif, yang kemudian memberikan kekuatan bagi eksekutif. Namun hasil pemilu 2024, dengan berbekal hitungan sementara, maka partai oposisi akan memiliki pengaruh yang signifikan di parlemen. Hal ini kemudian dimungkinkan akan membuka peluang dan tantangan baru pemerintahan Prabowo-Gibran (Kumparan, 2024).

Berbagai pengamat menakar bahwa, jika kekuatan partai oposisi melebihi kekuatan eksekutif dalam sebuah pemerintahan maka akan menciptakan dinamika politik yang sangat kompleks (Kumparan, 2024). 

Dalam konteks ini, pemerintah akan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan mereka, karena mereka tidak lagi memiliki kendali penuh atas legislatif.

Dengan demikian, proses pembuatan keputusan akan menjadi lebih rumit dan memerlukan negosiasi yang lebih intensif antara berbagai kepentingan politik. Partai oposisi, di sisi lain, akan memiliki lebih banyak pengaruh dalam menentukan arah kebijakan negara, baik melalui penghalangan terhadap agenda pemerintah yang mereka tidak setujui, maupun melalui upaya mereka untuk mempromosikan agenda mereka sendiri.

Pada titik ini akan muncul tarik menarik kepentingan, yang selebihnya adakan menciptakan medan politik yang lebih kompleks, dengan potensi ketegangan dan konflik antara pemerintah dan partai oposisi. 

Persaingan politik yang meningkat dapat menghambat kemampuan pemerintah untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam pelaksanaan kebijakan, dan bahkan dapat menyebabkan stagnasi atau kebuntuan dalam proses pembuatan keputusan.

Meskipun hadirnya kekuatan oposisi yang signifikan juga dapat membawa dampak positif. Dimana oposis dapat berperan sebagai pengontrol jalannya pemerintahan, sembari memperkuat akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan, memastikan representasi yang seimbang dari berbagai kepentingan masyarakat (Kumparan, 2024). 

Karena itu, eksekutif harus berupaya untuk mencapai konsensus dengan partai oposisi untuk mendapatkan dukungan atau setidaknya mencegah hambatan dalam agenda pembentukan kebijakan.

Tafsiran para pengamat diatas terhadap situasi dan dinamika politik tanah air, menurut penulis, analisa tesebut bisa saja melenceng. Karena sangat sulit untuk memprediksi dinamika partai-partai yang sangat beragam orientasi politiknya. 

Karena mayoritas partai politik di Indonesia cenderung memiliki ideologi dan karakternya yang moderat, jika tidak berlebihan dikatakan oportunis serta bersifat pragmatis, sehingga perbedaan antara satu partai dengan yang lain hampir tidak terlihat.

Berdasarkan studi para sarjana menunjukan bahwa setelah tumbangnya PKI pada tahun 1965, di Indonesia tidak ada oposisi yang kuat. Kondisi ini, ditunjukan dengan hubungan antara partai politik yang cenderung tidak konsisten dan terus berubah. Hal ini kemudian menimbulkan ketidakpastian mengenai siapa yang merupakan lawan atau sekutu politik yang konstan dalam jangka panjang (Abdulrahman, 2023).

Dengan watak dan karakter partai-partai politik semacam itu, penulis mencoba menafsir, bahwa kemungkian ada konsolidasi dan lobi-lobi politik kedapan ini. Meskipun pada Pilpres kemarin mereka bersebrangan dan berbeda kubu, namun pasca pilpres ini partai-partai (oposisi) tersebut bisa masuk menjadi bagian dari pemerintahan. 

Kemudian Presiden dan Wakil Presiden terpilih (Prabowo-Gibran) akan mengonsolidasikan kekuasaannya dengan partai-partai tersebut untuk membentuk pemerintahan dan secara alami akan memperoleh kendali atas mayoritas DPR.

Bisa saja misalnya partai politik seperti PKB dan Nasdem atau lainnya yang pada pemilu kemarin memiliki orientasi politik yang berbeda dengan partai pendukung Prabowo-Gibran, bisa saja bergabung dalam kabinet pemerintahan, sementara PDI-P atau partai lainnya memilih berada di luar pemerintahan atau sebaliknya juga. Mengingat posisi Presiden Jokowi yang masih menjadi bagian dari PDI-P, bisa saja nanti PDI-P menggandeng partai Gerindra dan partai lain masuk ke dalam pemerintahan.

Budaya politik semacam ini kemudian menegaskan adagium klasik bahwa di dalam politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Karena kesamaan kepentingan itulah yang kemudian menuntun partai-partai politik, berada pada kondisi yang penulis sebut sebagai "kerja sama antagonis". 

Artinya partai politik senantiasa berusaha untuk mengakhiri rivalitas (konflik) dan menciptakan konsensus jika memiliki persamaan kepentingan, begitupun sebaliknya partai politik akan menciptakan konsensus melalui kerja sama meskipun telah melalui rivalitas (konflik) di antara partai yang bersinggungan.

Hal ini dapat diamati pada pemilu 2019, Partai Gerindra dan PAN yang mengambil posisi oposisi pada pemerintahan periode 2014-2019, kemudian merapat ke pemerintahan dan mendapat jatah dua Menteri untuk Gerindra (Menteri Pertahanan Prabowo Subianto serta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo) dan satu Menteri untuk PAN (Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan) (kompas.com, 2019).

Sulit memang untuk memprediksi dinamika partai-partai yang sangat beragam orientasi politiknya. Kendati demikian hanyalah satu hal yang pasti yakni, kesamaan kepentingan yang dapat mempersatukan partai-partai dalam blok politik. 

Kita tentu dapat memprediksi bahwa, dengan watak dan karakter dari partai-partai politik semacam ini maka implikasinya adalah sulitnya kehadiran oposisi yang konsisten dalam mengkritik dan mengawasi pemerintahan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak negatif pada stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun