Korupsi politik di tengah oligarki republik semakin mencuat menjelang pemilu 2024. Berbagai kasus korupsi dan gratifikasi yang menjerat pejabat negara menjadi sorotan.
Selama tahun 2023, Indonesia disaksikan oleh berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara, termasuk gubernur, menteri, dan bahkan Ketua KPK. Salah satu kasus mencakup Gubernur Papua Lukas Enembe, yang dihukum 10 tahun penjara terkait suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur di Papua.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate dihukum 15 tahun penjara dalam kasus korupsi proyek BTS senilai Rp 8 triliun. Anggota BPK Achsanul Qosasi menjadi tersangka suap terkait hasil audit BPK terhadap proyek BTS. Menteri Pertanian SYL tersangka pemerasan dan pencucian uang dengan dugaan menarik upeti dari bawahannya.
Ketua KPK Firli Bahuri tersangka dalam kasus pemerasan terhadap Menteri Pertanian. Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej menjadi tersangka gratifikasi. Mantan Dirjen Minerba ESDM Ridwan Djamaluddin terlibat dalam kasus korupsi pertambangan ore nikel di Sulawesi Tenggara.
Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba menjadi tersangka korupsi terkait proyek-proyek di wilayahnya. Kasus-kasus tersebut mencerminkan seriusnya dampak korupsi pada kepastian hukum dan investasi di Indonesia serta upaya penegakan hukum untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Fenomena korupi diatas menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi budaya dalam penyelenggaraan negara dari waktu ke waktu. Budaya korupsi sama artinya dengan budaya mencuri, yang dalam istilah politik disebut kleptokrasi.
Mengutip Wikipedia, kleptokrasi (berasal dari bahasa Yunani: kleptes (pencuri) dan kratos (kuasa), kleptokrasi ("pemerintahan") adalah istilah yang mengacu kepada demokrasi sebuah bentuk pemerintahan yang mengambil uang pungutan (pajak) yang berasal dari publik/rakyat untuk memperkaya kelompok tertentu atau diri sendiri. Pemerintahan ini umumnya tidak jauh dari praktik-praktik korupsi dan kriminalisasi.Â
Berdasarkan catatan ICW tahun 2022, terdapat 612 orang tersangka kasus korupsi dengan total potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp 33,6 triliun (https://antikorupsi.org, 2023).
Sebagian besar kasus terjadi di pemerintahan daerah, seperti provinsi, kabupaten kota, dan desa. Sektor-sektor yang paling rentan terhadap korupsi antara lain anggaran desa, pemerintahan, pendidikan, transportasi, dan kesehatan. Modus operandi melibatkan mark up, penyalahgunaan anggaran, penggelapan, suap, proyek fiktif, dan lainnya. Pelaku korupsi didominasi oleh aparatur sipil, swasta, DPR/D, kelapa desa, BUMN/D, aparatur desa, dan kepala sekolah.
Dalam perspektif ekonomi politik, korupsi dapat dilihat sebagai hasil dari relasi antara modal dan kekuasaan yang mengatur struktur negara. Negara dianggap sebagai fasilitator akumulasi kapital, dan perilaku aparatus negara dipengaruhi oleh relasinya dengan modal dan kekuasaan. Ekonomi politik korupsi juga terkait dengan struktur masyarakat berkelas, di mana oligarki kapitalistik memegang kendali atas sumber daya negara.
Sejak era Orde Baru, kekuasaan negara didesain untuk menguntungkan borjuasi nasional dan internasional, mengakumulasi sumber daya negara untuk kepentingan kroni. Meskipun reformasi tahun 1998, ekonomi politik oligarki tetap kuat, terutama dengan desentralisasi yang memberikan kesempatan oligarki lokal untuk menguasai sumber daya negara.