Indonesia dalam konstisusi merupakan negara hukum yang perwujudannya tercermin ke dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk membatasi kekuasaan negara (pemerintah) dan memberi pedoman bagi rakyat dalam menjalankan aktivitasnya sebagai warga negara.
Geografis Indonesia yang sangat luas dan banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang beragam suku dan ras menyebabkan Indonesia sangat rentan dengan konflik yang berkaitan dengan ras dan etnis. Adanya perbedaan diantara suku bangsa tersebut ditambah dengan kesenjangan sosial dan ekonomi, kemiskinan yang masih relatif tinggi, serta diskriminasi ras dan etnis yang menimbulkan adanya gesekan-gesekan yang dapat memicu terjadinya kerusuhan sosial di masyarakat.
Disikriminasi ini diartikan sebagai perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasari oleh faktor ras, agama, gender. Setiap terjadinya pelecehan, pembatasan, atau pengucilan terhadap ras, agama, ataupun gender termasuk ke dalam tindakan yang diskriminatif.
Diskriminasi ras dan etnis yang timbul di tengah masyarakat ini antara lain disebabakan karena adanya stigma yang berkembang di dalam masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu ataupun sebagai akibat dari adanya sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, baik pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah yang bersifat diskriminatif.
Dari berbagai persoalan mengenai diskriminasi yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang cukup sensitif di Indonesia dan berpotensi sebagai sebab terjadinya konflik antara lain adalah diskriminasi rasial atau diskriminasi atas dasar etnis serta diskriminasi yang berbasis pada agama dan kepercayaan.
Seperti kasus pada masa Orde Baru, diskriminasi etnis yang terlihat secara nyata adalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa tidak diperkenankan untuk menjalankan keyakinanya, melestarikan budaya termasuk dilarang menggunakan bahasa asal dan nama asal Tionghoa. Keturunan Tionghoa pun dipersulit dalam membuat identitas seperti KTP dan Akte Kelahiran, tidak diizinkan mengekspresikan budaya dan tidak diharapkan terlibat dalam kegiatan politik.
Puncak dari disriminasi ini adalah kekerasan Mei Tahun 1998. Warga Tionghoa mengalami kekerasan fisik dan perampasan materi secara merata di semua wilayah di Indonesia seperti di Medan, Jakarta, Solo, Surabaya, Lampung, Palembang, dan tempat lainnya. Kekerasan itu tidak hanya berupa penjarahan dan pengrusakan harta milik, tetapi juga penganiayaan, pembunuhan, dan juga pemerkosaan.
Setelah masa reformasi jumlah praktik diskriminasi ini telah berkurang. Saat ini warga Tionghoa bisa secara bebas mengekspresikan budaya dan dapat terlibat dalam politik. Meski demikian, tidak berarti bahwa diskriminasi etnis hilang sama sekali, sebab diskriminasi etnis ini tidak hanya berkaitan dengan warga Tionghoa.
Diskriminasi ini juga bisa dialami oleh etnis minoritas lain di suatu wilayah. Beberapa kasus lainnya yaitu kasus di Sambas-Kalimantan Barat pada tahun 1998-1999, juga pada kasus di Sampit-Kalimantan Tengah pada Tahun 2001. Diskriminasi etnis ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini dikarenakan perbedaan ras atau etnis paling mudah untuk dimanfaatkan dalam terjadinya perpecahan bangsa dan ini dapat beruujung pada kekerasan bahkan pembersihan ras atau etnis tersebut.
Negara Republik Indonesia telah memberikan jaminan perlindungan untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif sebagai hak konstitusional yang ditentukan dalam Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berbuny, “Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya.” Namun dalam praktiknya masih terdapat adanya perlakuan yang diskriminatif khususnya terhadap kelompok rentan, kelompok minoritas dan juga kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan (marjinal).
Indonesia adalah negara demokrasi dan di dalam negara demokrasi itu tidak boleh ada diskriminasi atau perlakuan terhadap kelompok mayoritas yang menyudutkan kelompok minoritas berdasarkan perbedaan suku, ras, atau agama.
Apalagi, diskriminasi bertentangan dengan karakteristik atau indikator dari demokrasi. Berdasarkan sudut pandang EIU (Economist Intelligence Unit) Democracy Index 2021, salah satu indikator demokrasi ialah tidak adanya diskriminasi yang signifikan berdasarkan ras, warna kulit, atau keyakinan agama. Artinya, jika suatu negara demokrasi berprilaku diskriminatif atau terdapat diskriminasi di dalam negara tersebut, maka demokrasi negara tersebut lemah karena tidak memenuhi salah satu dari 60 indikator demokrasi.
Indikator tersebut adalah indikator nomor 59 yang berkaitan dengan aspek kebebasan sipil. Pada aspek ini berarti semua warga negara memiliki kebebasan. Seperti hal nya hak asasi manusia (HAM), adanya kebebasan, persamaan, keamanan, keadilan, pengakuan, dan juga perlindungan.
Jika masayarakat Indonesia berpegang teguh pada toleransi, maka perbedaan suku ras dan juga agama tidak akan membuka kemungkinanan terjadinya diskriminasi atau perpecahan bangsa. Dengan adanya toleransi yang kuat juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk menghormati, menghargai, dan mengakui adanya perbedaan antara individu dan kelompok.
Negara Indonesia adalah negara dengan budaya, ras, dan agama yang beragam. Sudah seharusnya keberagaman dan perbedaan ini menjadi alat sebagai pemersatu bangsa, bukan sebagai pemecah bangsa. Sesuai dengan semboyan negara Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Hal ini sangat sesuai dengan kondisi sosial dan budaya Indonesia, sebagai ungkapan yang menunjukan adanya kemauan yang serius dalam mewujudkan suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu dalam keberagaman.
Daftar Pustaka
Adrian, D. M., Wantu, F. M., & Tome, A. H. 2021 Diskriminasi Rasial dan Etnis Dalam Persepektif Hukum Internasional. Jurnal Legalitas, 14(01).
Denny, J. A. 2014. Menajdi Indonesia Tanpa Diskriminasi: Data, Teori, dan Solusi. Cerah Budaya Indonesia.
EIU (Economist Intelligence Unit) Democracy Index 2021
Hilmy, M. I. 2020. Fenomena Gerakan Populisme Dalam Kemunduran Demokrasi. Jurnal Civic Hukum, 5(2).
Unsriana, L. 2014. Diskriminasi Gender Dalam Novel Ginko Karya Junichi Watanabe. Lingua Cultura, 8 (1).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H