Dalam karya monumentalnya, "Wacana/Gambar" (1971), Jean-Franois Lyotard menggali perbedaan antara makna linguistik dan makna artistik. Menurutnya, sementara pemikiran rasional berfokus pada makna diskursif, karya seni---seperti lukisan---memancarkan makna simbolis yang lebih kompleks dan emosional. Lyotard menekankan bahwa kekayaan simbolis dalam seni seringkali tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh akal budi.
Dalam "The Differend: Phrases in Dispute" (1983), Lyotard mengaitkan wacana dengan "permainan bahasa," konsep yang dulu diperkenalkan oleh Ludwig Wittgenstein. Ia menekankan bahwa wacana adalah sistem bahasa yang terstruktur dan tidak memiliki standar universal untuk evaluasi. Oleh karena itu, masyarakat postmodern harus menghargai dan mengakui keberagaman wacana, menghormati perbedaan dan konflik dalam pandangan.
Lyotard juga menyelidiki peran fenomenologi dalam ilmu sosial. Baginya, fenomenologi berfungsi untuk mendefinisikan objek ilmu secara esensial sebelum analisis empiris dilakukan dan untuk mengevaluasi hasil eksperimen dengan cara filosofis. Meski Lyotard melihat potensi fenomenologi dalam ilmu sosial, ia skeptis tentang relevansinya bagi Marxisme, menganggapnya sebagai langkah mundur.
Dalam konteks budaya Aljazair, Lyotard mengkritik pendudukan budaya oleh Prancis dan menyatakan bahwa pembebasan nasional akan memerlukan lebih dari sekadar revolusi nasionalis; ia berpendapat bahwa revolusi sosialis adalah kunci untuk mengatasi kesenjangan sosial.
Terakhir, Lyotard memperkenalkan konsep "pita" sebagai ruang di mana energi libidinal bertemu dengan pengaturan atau struktur. Ia menggambarkan bagaimana institusi politik mengarahkan energi sosial dari gejolak ke arah tindakan yang lebih moderat. Konsep ini memberikan wawasan tentang dinamika antara intensitas dan struktur dalam masyarakat.
Secara keseluruhan, pemikiran Lyotard mengajak kita untuk mempertanyakan dan merenungkan peran bahasa, seni, fenomenologi, dan energi sosial dalam membentuk realitas kita, sambil menekankan pentingnya menghargai perbedaan dan mengakui kompleksitas masyarakat postmodern.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI