(Kelegaan yang Menyengsarakan)
Pasca reformasi, bangsa ini bagaikan orang yang bernafas lega, setelah dadanya sesak diimpit beban berat. Demokrasi yang dicita-citakan seperti dirasakan sudah merupakan pilihan terbaik. Bermacam pemikiran dari inisiator demokrasi bermunculan dikala itu.
Banyak tokoh menampilkan kehebatan masing-masing, yang ujungnya berakhir dengan adu kekuatan massa. Apa yang terjadi?? Demokrasi menjadi liar tak terkendali, dimana kehebatan tokoh-tokoh yang sebelumnya menampilkan idealisme perjuangannya untuk bangsa, perlahan mulai menampakkan belangnya.
Saling memupuk egoisme pribadi dan kelompok mulai ditampilkan. Bahkan ketika tiba peluang mengambil kekuasaan, etika dan moral sudah jauh ditinggal di belakang. Mereka yang tadinya bersatu berakhir dengan saling hantam-hantaman, tikam-menikam teman seperjuangan bahkan sudah jadi kebiasaan.
Mengapa hal itu sampai terjadi???
Semua itu bisa dikatakan terjadi karena perbaikan yang dicitakan, lebih kepada pelampiasan dendam pada Rezim yang dianggap menyandera dan melumpuhkan demokrasi. Saking dendamnya mereka, sampai melupakan makna demokrasi itu sendiri. Demokrasi itu sejatinya adalah alat/instrumen untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelaksanaannya harus penuh etika dan moral yang bermartabat, bukan dilakukan dengan suka-suka berdasarkan kekuatan yang ada pada diri atau kelompok, yang kemudian dipaksakan dengan menghalalkan segala cara.
Kebablasan akibat dendam ini juga diperparah, oleh kelakuan banyak tokoh yang tak mengkaji, hal yang fundamental atas tujuan bangsa ini membentuk negara, berdasarkan pemikiran para tokoh pendiri bangsa. Apa akibatnya? Mental-mental yang sudah dikuasai nafsu dendam, semakin memaksakan keinginan hatinya. Apapun yang sudah ada, baik itu mengandung kebaikan dari negara ini didirikan sampai negeri ini dilaksanakan, semua ingin dirubah oleh mereka.
Fatalnya, filosofi dan hal mendasar yang sudah dipikirkan para pendiri negarapun diusik dan diutak-atik sesuka mereka. Tadinya hanya ingin meruntuhkan rejim, akhirnya terdorong pada bagaimana secepatnya ingin menguasai negara berikut kekayaan alamnya. Hal ini pun disponsori oleh dunia Barat, dengan kamuflase HAM dan Demokrasinya untuk ingin menghancurkan Indonesia. Demokrasi dan HAM dijadikan issu untuk bisa merubah fundamental negeri ini. Tokoh-tokoh reformasi menjadi tergiur akhirnya bagaimana cara mengekang melemahkan Pancasila yang sekaligus jadi filosofi demeokrasi di negeri ini? Pemikiran yang dipengaruhi aura kebarat-baratan itulah yang akhirnya mengacak-acak UUD 1945 dan mulai ketagihan merombak apa-apa yang masih terasa mengekang mereka.
Mereka tak sadar, Pancasila dan UUD 1945 itu dibuat dengan pemikiran yang mendalam, dan keduanya tak bisa dipissahkan satu sama lainnya keberadaan materi di dalamnya. Denyut nadi UUD 1945 itu adalah berasal dari Pancasila itu sendiri, ibarat otaknya UUD 1945, maka Pancasila adalah denyut jantungnya. Itulah sebabnya ketika dilumpuhkan Pancasila, maka otomatis Otaknya (UUD 1945) tak bisa bekerja sempurna.
Demokrasi itu intinya tetap kekuatan berada ditangan rakyat, namun untuk ukuran Indonesia, para pendiri bangsa telah mengkaji secara mendalam dimana bangsa ini adalah bangsa yang beda dengan bangsa lain didunia. Tak ada bangsa lain didunia ini, yang sama dengan negeri ini, yang memiliki keragaman budaya etnik dan berasal dan terdiri dari banyaknya beragam bangsa dari etnik itu sendiri. Untuk itulah direkat dalam satu maklumat mendasar yaitu pancasila. Dalam melaksanakan kehidupan bangsa dan bernegara yang memilih sistim demokrasi, maka dikembangkanlah bentuk yang pas sesuai kondisi bangsa. Maka dipilihlah Demokrasi Pancasila sebagai pilihan yang cocok mengakomodasi semua itu, dan UUD 1945 sebagai rule of the game, hasil dari implementasi Pancasila yang dikembangkan jadi implementasi  kekuatan yuridis formal atas apapun Hukum dan aturan/ UU yang akan dibuat.
Kita dapat lihat kondisi sekarang, setelah semua diacak, apa yang kejadian?? Tak lebih demokrasi yang dikembangkan, jadi kebabalasan dan sejatinya makin jauh dari demokrasi itu sendiri. Kekuatan rakyat hanya sebatas jargon pujaan meninabobokan rakyat itu sendiri dengan berbagai cara. Demokrasi didorong untuk memupuk hegemoni kelompok dan disamarkan dengan berbagai cara. Seecara filosofis kekuatan rakyat itu hanya diakomodasi sekali dalam lima tahun, untuk kepentingan kekuatan yang ingin mengambil kekuasaan. Lebih dari itu, hanya penguasa yang punya negeri ini.