Mohon tunggu...
Helmy Achmad Alamudi
Helmy Achmad Alamudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas 17 Agustus 1945 jakarta

Sebagai mahasiswa S2 ilmu hukum dan peneliti kebijakan dan hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Opini: UU Desa di Antara Pro dan Kontra

6 Mei 2024   18:21 Diperbarui: 6 Mei 2024   18:21 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revisi Undang-Undang Desa yang disahkan oleh Presiden Jokowi pada 28 Maret 2024 lalu, merupakan langkah yang sangat dinantikan. Namun, apakah revisi ini benar-benar menyentuh inti permasalahan yang dihadapi oleh desa dan masyarakatnya?

Dari sisi kebijakan, revisi ini memang memberikan beberapa perubahan signifikan. Tunjangan kepala desa, penghasilan bulanan, hingga jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan menjadi sorotan utama. Tidak hanya itu, perubahan terkait masa jabatan kepala desa yang kini diperpanjang menjadi 8 tahun juga menarik perhatian.

Namun, di balik itu, ada beberapa aspek yang masih ditinggalkan. Lembaga Mediasi Desa yang seharusnya berperan aktif sebagai penengah, kemandirian desa yang perlu diperkuat, serta sengketa lahan dan waris di desa, tetap menjadi masalah yang belum terselesaikan. Selain itu, tumpang tindihnya kewenangan perangkat desa juga menjadi kekhawatiran tersendiri.

Akademisi menilai bahwa pemerintah terlalu fokus pada kepentingan perangkat desa tanpa menyentuh permasalahan yang lebih kompleks yang dihadapi oleh masyarakat. Revisi ini seolah-olah hanya menyentuh permukaan dari permasalahan yang lebih dalam.

Maka dari itu, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan birokrasi desa, tetapi juga mendengarkan suara masyarakat secara lebih luas. Revisi Undang-Undang Desa seharusnya menjadi momentum untuk merumuskan solusi yang komprehensif bagi semua pihak yang terlibat, bukan hanya sekadar memperpanjang masa jabatan atau menambah tunjangan.

Revisi Undang-Undang Desa yang baru saja disahkan oleh Presiden Jokowi telah mencuri perhatian, namun, bukan tanpa sorotan kritis. Salah satu aspek yang paling kontroversial adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun, bahkan bisa mencapai 16 tahun jika terpilih kembali dalam Pilkada.

Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran besar, terutama terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan. Ucu Martanto, seorang dosen akademisi Ilmu Politik di Universitas Airlangga, menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak perpanjangan masa jabatan ini terhadap dinamika politik desa. Ia menyoroti bahwa politik di level desa sangatlah berbeda dari tingkat kabupaten, provinsi, atau nasional. Dalam konteks desa, hubungan personal memegang peran besar, yang bisa memunculkan praktik nepotisme dan konflik kepentingan.

Penting untuk diwaspadai adalah potensi terbentuknya dinasti politik di tingkat desa. Ketika satu kepemimpinan berlanjut ke anggota keluarga atau kerabat dekat, demokrasi yang diharapkan bisa terancam. Sunaji Zamroni, seorang peneliti dari Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, juga menggarisbawahi risiko besar terkait praktik KKN dan potensi perpecahan akibat kepercayaan masyarakat yang terkikis.

Pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan implikasi negatif dari kebijakan tersebut. Meskipun undang-undang telah disahkan, pemantauan dan evaluasi berkala harus dilakukan untuk memastikan bahwa pemerintahan desa berjalan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Langkah-langkah konkret harus diambil untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat desa secara keseluruhan.

Langkah yang diambil oleh DPR dalam merevisi Undang-Undang Desa terkait pemilihan kepala desa telah menarik perhatian banyak pihak. Salah satu perubahan yang signifikan adalah terkait ketentuan bahwa kepala desa akan terpilih secara langsung jika tidak ada calon yang maju dalam proses pemilihan.

Pasal 34A UU Desa mengatur bahwa minimal harus ada dua calon kandidat dalam proses pemilihan kepala desa. Namun, jika dalam tenggat waktu yang ditentukan tidak ada calon lain yang mendaftar, maka waktu pendaftaran akan diperpanjang. Jika situasi ini masih tidak berubah, kepala desa akan terpilih secara otomatis.

Alasan di balik perubahan ini adalah untuk menjaga stabilitas dan keamanan di tingkat desa, serta mengurangi kemungkinan masyarakat memilih kotak kosong dalam pemilihan kepala desa. Hal ini dilakukan untuk menghindari konsekuensi anggaran desa yang terbuang akibat pemilihan yang harus diulang jika kotak kosong yang menang.

Meskipun langkah ini diambil dengan tujuan yang baik, namun tetap saja menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah pengambilan keputusan secara langsung tanpa adanya calon kandidat lain merupakan langkah yang demokratis? Apakah hal ini akan memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh masyarakat desa untuk terlibat dalam proses pemilihan kepala desa?

Perubahan ini tentu saja memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Namun, yang terpenting adalah bagaimana implementasi dari kebijakan ini nantinya. Pemerintah dan lembaga terkait harus memastikan bahwa setiap langkah yang diambil selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan, serta memperhatikan kepentingan masyarakat desa secara menyeluruh.

Revisi Undang-Undang Desa telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan sejak tahun 2023, dan hingga kini, masih menuai sejumlah penolakan dari berbagai pihak. Salah satu kritik yang cukup vokal datang dari Herman N. Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Herman menyoroti bahwa RUU Desa pada saat itu terlihat sebagai instrumen yang sarat dengan kepentingan politik menjelang pemilihan umum (Pemilu). Ia menegaskan penolakannya terhadap revisi UU Desa karena proses pembahasan yang terkesan terburu-buru dan dilakukan di tengah kontestasi politik yang memanas di Indonesia.

Kritik yang dilontarkan Herman bukanlah tanpa alasan. Banyak kebijakan yang dihasilkan terkesan lebih menguntungkan perangkat desa dibandingkan dengan kepentingan masyarakat desa secara keseluruhan. Hal ini memperkuat dugaan akan adanya hubungan yang erat antara politisi dan pejabat teras dengan para pemangku kepentingan di tingkat desa.

Perlu diakui bahwa pembenahan di tingkat desa adalah suatu hal yang penting, namun harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan seluruh masyarakat desa secara adil dan transparan. Langkah-langkah kebijakan yang diambil haruslah mengedepankan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat sebagai fokus utama. Oleh karena itu, kritik yang membangun seperti yang disampaikan oleh Herman seharusnya menjadi bahan refleksi bagi para pembuat kebijakan untuk lebih memperhatikan aspek-aspek ini dalam proses pembahasan revisi UU Desa.

Meskipun revisi UU Desa telah disahkan dan menjadi bagian dari hukum konstitusi yang berlaku, bukan berarti masyarakat desa kehilangan kendali sepenuhnya. Ada peran penting yang dapat diambil oleh masyarakat dalam mengawal berbagai aspek terkait otonomi daerah, kinerja kepala desa, dan perangkat desanya.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan keterlibatan dan kawalan aktif masyarakat desa terhadap pemerintahan desa. Masyarakat harus aktif dalam memantau, memberikan masukan, dan menegakkan akuntabilitas terhadap tindakan kepala desa dan perangkat desa lainnya. Ini dapat dilakukan melalui mekanisme seperti musyawarah desa dan pengawasan secara langsung terhadap pelaksanaan program-program pembangunan.

Tidak hanya itu, peran Lembaga Mediasi Desa (LMD) juga sangat penting dalam konteks ini. LMD dapat berfungsi sebagai pihak netral yang menjadi penengah dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dengan kepala desa atau antarwarga desa lainnya. Dengan adanya LMD, konflik dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus merugikan kedua belah pihak. Selain itu, LMD juga dapat membantu mengawal dan memastikan terlaksananya otonomi daerah sesuai dengan aturan yang berlaku.

Dengan kawalan aktif masyarakat dan peran yang efektif dari LMD, praktik-praktik negatif seperti korupsi, politik dinasti, dan kelalaian dalam menjalankan tugas kepala desa dapat diminimalisir dengan cepat. Langkah-langkah ini juga akan membantu desa dalam mengatasi sejumlah permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat desa untuk bersatu dan mengambil peran aktif dalam menjaga kepentingan dan kesejahteraan desa mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun