Mohon tunggu...
helmud hector
helmud hector Mohon Tunggu... lainnya -

Ketua GMNI Bandung periode 2010-2012

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Penting Kaderisasi dalam Memperkokoh Organisasi

6 Mei 2011   18:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:00 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan perkataan aristoteles di dalam bukunya yang berjudul La Politic bahwa setiap imperium yang tidak mampu memberikan pendidikan bagi generasi berikutnya maka tunggu saja waktunya imperium itu akan mengalami masa kehancuran. Begitu pentingnya pendidikan sehingga apabila kita berbicara pendidikan maka sama pentingnya dengan membicarakan keberlangsungan organisasi, imperium atau bentuk kumpulan manusia apa pun.

Sebuah negara hanya akan besar apabila negara tersebut memiliki sumber daya manusia yang berkualitas untuk berpartisipasi dalam jalannya roda kenegaraan. Tentu sumber daya manusia barulah mengalami kualifikasi ketika manusia-manusia-nya diberikan pendidikan yang baik pula. Pendidikan merupakan satu-satunya instrument untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, terlepas apa pun bentuk dan metodenya. Anggap saja kita diberikan hak untuk mengkategorikan mana saja negara-negara di dunia ini yang bisa diklasifikasikan sebagai negara maju, maka apa yang akan kita jadikan tolak ukur untuk menilainya? Kalau pembaca menanyakan kepada saya hal tersebut, tentu dengan segera saya menjawab bahwa pendidikan adalah tolak ukur utama apakah negara dapat dikatakan maju atau tidak.

Indonesia di dalam preamble UUD 1945 tegas diguratkan bahwa negara dibangun yakni salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga dikatakan agar pemerintah mengalokasikan minimal 20% anggaran di dalam APBN sebagai bentuk realisasi pembangunan sumber daya manusia lewat pendidikan yang baik walau penganggaran saja tidaklah cukup tanpa disertai dengan pembenahan di sisi lainnya seperti infrastruktur, kualitas pengajar, kurikulum yang baik serta suasana hidup di lingkungan pendidikan tersebut. Mari kita sejenak bercermin kepada negara kecil yang kemajuannya sangat pesat di wilayah asia tenggara. Singapuara misalnya, negara ini seperti yang pernah dikatakan oleh Prof Goh Chor Boon Wakil Direktur NIE (National Institute of Education), salah satu lembaga pendidikan pemerintah terbesar di Singapura, yang mengatakan. “Kami tidak punya sumber daya alam, kami tidak punya tambang, kami hanya punya human resourses. Kalau kami tidak punya pendidikan yang baik maka kami tidak akan bertahan.” Penegasan ini, tampaknya bisa dilihat dari anggaran pendidikan Singapura kedua tertinggi setelah anggaran pertahanan. Data tahun 2003: anggaran pendidikan Singapura mencapai 27%, Malaysia 22% dan 2008 mencapai 26%, sementara Thailand 21%.  Malaysia yang dulu mengimpor guru Indonesia, telah jauh melesat. Dengan komposisi anggaran yang besar, pemerintahnya sukses menanggung beasiswa pelajar dan mahasiswa di luar negeri. Dan Singapura Si Negara Kota, mengaku telah melewati fase Pembangunan Landasan Riset dan Pengembangan sejak lama, yang ditandai salah satunya dengan pendirian Dewan Teknologi dan Sains Nasional tahun 1991.

Dalam konteks partai, kita juga bisa melihat pola pendidikan atau kaderisasi yang diterapkan untuk membangun kader-kader yang diharapkan menjalankan visi-misi partai. Lemahnya kaderisasi di dalam partai akan berdampak langsung terhadap melemahnya partai. Tanpa kader yang kuat tidak ada organisasi kokoh bisa terbentuk, begitu juga sebaliknya tanpa organisasi yang kokoh sulitlah melakukan kaderisasi yang baik. Sudah barang tentu kedua hal tersebut harus berjalan seiring layaknya mobil dan bensin dimana tanpa salah satu maka keduanya tidak akan bermakna apa-apa.

Saya ingin mengajak pembaca untuk sedikit bersantai ria bercerita tentang film three hundreds (300) yang mengisahkan tentang perjuangan 300 pejuang spartan yang mempertahankan tanah air dari serangan bangsa luar. Kita tidaklah perlu mempersoalkan apakah hal tersebut benar-benar pernah terjadi atau tidak, karena saya hanya bermaksud untuk menstimulir kita dalam berimajinasi tentang kaderisasi. Lihatlah film tersebut, bangsa spartan hanya menggunakan 300 pejuang dalam peperangan melawan ribuan musuh-musuhnya dengan senjata yang lengkap. Apa yang membuat pejuang-pejuang tersebut mampu mengimbangi musuh dalam peperangan tersebut. Kita bisa melihat mereka memiliki strategi yang kuat, strategi yang membaca dan memanfaatkan medan peperangan dengan baik demi keuntungan barisannya. Mereka juga memiliki kedisiplinan gerakan dan ketaatan komando serta koordinasi yang baik antar setiap personil sehingga formasi-formasi barisan dengan mudah dibentuk dan memang benar-benar kokoh. Kedisiplinan dan militansi benar-benar terlihat dan merasuki setiap jiwa pejuang tersebut, terlebih film ini menggambarkan nyawa dari keberanian pejuang-pejuang tersebut yakni rasa cinta mereka terhadap tanah air dan bangsa yang kita kenal dengan nasionalisme. Itulah yang menjadi nyawa dari keberanian para pejuang-pejuang sparta.

Baiklah kita tafikan sejenak persoalan fantasi film yang barusan kita bicarakan, mari kita sejenak memperhatikan realita kehidupan yang terjadi di dunia ini. Ketika kita terlahir ke dunia ini, kita langsung dihadapkan pada alam dimana kita harus beradaptasi dan berinteraksi dengan segala sesuatu di luar kita. Kita yang tadinya tidak bisa berbahasa kemudian perlahan diberikan sentuhan linguistik oleh pertama-tama ibu, lalu oleh lingkungan sekitar, sampai kita mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, tadinya yang kita hanya bisa terbaring kemudian mampu untuk berjalan bahkan berlari, awalnya kita minum asi kemudian kita bisa memakan nasi. Saya menceritakan ini agar pembaca melihat realitas terdekat bahwa sesungguhnya kita dari sejak lahir hingga saat ini telah mengalami perkembangan diri, sekali lagi saya katakan apapun cara dan media yang membuat kita berkembang tidaklah begitu saya persoalkan, karena itu relatif, namun hal terpenting yang mau sampaikan bahwa proses perkembangan tersebut bisa kita katakan kaderisasi dalam konteks luas. Atau lebih ekstrim lagi, seluruh proses kehidupan yang ada di dunia ini apapun bentuknya, disadari atau tidak, bila kita pandang dari segala perspektif merupakan bentuk kaderisasi. Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan yang pernah dilontarkan oleh bapak pendidikan nasional KI HAJAR DEWANTARA bahwa semua adalah guru, dan setiap tempat adalah perguruan.

Marilah sedikit kita persempit konteks pembicaraan kita dalam lingkup organisasi. Tidak perlu saya jelaskan lebih panjang terkait apa itu organisasi? Dan kenapa pembahasannya harus dibedakan dengan komunitas atau kumpulan-kumpulan lain. Cukuplah kita mengetahui bahwa organisasi merupakan sekumpulan orang yang memiliki tujuan (cita-cita) dan akan kita capai dengan langkah-langkah tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia-manusia yang ada di dalamnya diberi aturan-aturan demi pendisiplinan mencapai tujuan.

Kenapa begitu penting kita harus menata kaderisasi di tubuh organisasi? Ini yang harus kita jawab dengan lantang dan tegas agar kita memiliki arah dalam mengarungi samudra pemakanaan terhadap satu kata yakni kaderisasi. Di atas telah kita ulas bahwa organisasi memiliki tujuan. Bagaimana tujuan itu dapat tercapai apabila sekumpulan orang tersebut tidak memahami secara utuh apa tujuannya dan bagaimana langkah-langkah mencapai tujuan. Lalu apakah ketika mereka tahu secara utuh tentang tujuan dan langkah-langkah mencapai tujuan dengan sendirinya kita akan mau bergerak mewujudkan cita-cita organisasi? Kemauan mensyaratkan adanya semangat, dan tentulah mereka yang ada di organisasi harus dibangkitkan semangatnya untuk merealisasikan tujuan organisasi. Kita andaikan saja semua orang di dalam tubuh organisasi telah memiliki semangat dan kemauan untuk mengimplementasikan tujuan, saya kemudian bertanya sekali lagi, apakah setelah mereka memiliki pengetahuan tentang tujuan, semangat untuk mencapai tujuan, dan mau untuk mencapai tujuan itu dengan sendirinya kita akan melakukan pergerakan? Saya tegaskan belum tentu. Kita harus melihat variabel resiko di dalamnya. Setelah mereka tahu, semangat dan mau dan kemudian mereka dihadapkan kepada resiko-resiko tertentu, mungkin timbul kebimbangan untuk bergerak di jalan yang sudah ditentukan. Oleh karena itu tahap mau haruslah dirubah menjadi tahapan bertindak atau bergerak dan hal tersebut mensyaratkan adanya pengorbanan.

Mungkin pembaca menganggap hal diatas adalah pembahasan yang biasa-biasa saja dan dirasa kurang penting. Tapi saya ingin tegaskan persoalan ini bukanlah persoalan yang sederhana namun membutuhkan usaha yang super berat dalam membangunnya. Ucapan saya seirama dengan apa yang telah diucapkan oleh bung karno ketika dia berbicara di depan rakyat tentang tahapan-tahapan itu. Apa tahapan-tahapan itu? Tahapan itu dalam konteks nasional dikumandangkan bung karno dengan peristilahan national spirit meningkat menuju national will hingga mencapai nasional daad. Berulang-ulang kali beliau menyampaikan itu kepada rakyat bukan sekedar jargon tetapi hal tersebut mengindikasikan betapa besar usaha yang diperlukan untuk membangunnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun