Mohon tunggu...
Helmi Fithriansyah
Helmi Fithriansyah Mohon Tunggu... -

Wild and Fun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polusi Politik

7 Maret 2012   23:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:23 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain itu, politik juga harus simpatik. Artinya, politik harus selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiawian. Karenanya, politik harus mampu menjadikan sebuah negara layak untuk dihuni serta memanusiakan manusia. Tata kelola hidup bersama pun harus dibangun di atas fondasi kemanusiaan. Politik simpatik juga harus mampu memanusiakan manusia dalam pengertian yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya (Prof. Dr. E. Armada Riyanto. CM, 2011; 120).

Jika kembali menengok ke belakang, kita akan menyadari bahwa para pendiri bangsa ini merupakan sosok politisi yang sangat mumpuni. Presiden Pertama kita, Soekarno, merupakan sosok yang memiliki pemahaman tinggi tentang filsafat dan nilai-nilai budaya bangsa. Bung Hatta, menjadi tokoh yang mampu memadukan antara nilai-nilai yang ada dalam politik dengan disiplin ilmu ekonomi. Atau Tan Malaka pemikir sekaligus praktisi politik yang kerap menyusuri lorong-lorong gelap wilayah politik. Bagi Tan Malaka, politik merupakan dunia ideal dengan mimpi-mimpi sekaligus sebuah realitas keras (Prof. Dr. E. Armada Riyanto. CM, 2011; 37).

Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka merupakan sedikit dari para tokoh pergerakan Indonesia yang memiliki kemampuan tinggi dalam memahami politik. Masih banyak lagi tokoh negeri ini yang memiliki kemampuan serupa. Memahami politik secara utuh, baik sebagai pemikir maupun praktisi.

Politik merupakan seni mewujudkan kehendak umum, tata kelola kehidupan bersama. Politik juga harus mengedepankan rasionalitas. Ada moralitas dalam kehidupan politik. Dan moralitas inilah yang menjadi penyangga utama politik.

Kedangkalan berpikir dan memaknai politik akan membawa kebobrokan dalam tata kelola hidup bersama. Imbasnya muncul kerancuan pemahaman pemaknaan dalam kehidupan politik. Ruang politik praktis kita pun semakin dipenuhi oleh para demagog berpikiran irasional. Udara politik yang kita hirup pun penuh kian sesak dengan aroma polusi politik, diantaranya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun