Pengap. Sumpek. Begitulah gambaran situasi dan kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini. Betapa tidak, kehidupan politik di tanah air hanya dipenuhi perdebatan para politisi yang nyaris tanpa makna. Para politisi terlihat “sok” sibuk memperdebatkan “pepesan kosong” hanya untuk sekedar menaikkan citra mereka di mata publik.
Ketika jantung rakyat Indonesia sedang berdegup keras menghadapi rencana pemerintah tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebagian dari para wakil rakyat justru menghamburkan energinya hanya untuk mengadu argumen tentang hal yang tidak terlalu mendasar. Mulai dari tudingan adanya makar hingga pemakaian rok mini di areal gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hal ini memunculkan kesan tersendiri. Apa yang dilakukan mereka hanya untuk menutupi persoalan atau permasalahan yang sedang menjadi perhatian masyarakat. Kita semua tahu. Perhatian sebagian masyarakat sedang tertuju pada beberapa sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Terlebih kasus korupsi yang melibatkan M Nazaruddin, sebagai terdakwa. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini terlihat sedang berusaha keras membuktikan bahwa dia tidak sendiri.
Belum usai perhatian serta kekecewaan masyarakat pada kian maraknya kasus korupsi di tanah air. Kini, rakyat Indonesia dihadapkan pada kenyataan baru yang cukup pahit. Menyusul rencana kenaikan harga BBM, beberapa harga barang kebutuhan pokok sudah mulai merangkak naik. Tarif dasar listrik pun dipastikan naik secara bertahap pada tahun ini. Hampir dapat dipastikan, rakyat akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ironisnya, sebagian wakil rakyat di gedung DPR justru asyik melontarkan pernyataan-pernyataan yang kurang memiliki makna. Mulai dari tuduhan akan adanya penggulingan kekuasaan pemerintah hingga tata cara berpakaian menjadi topik utama perdebatan mereka. Mereka mulai lupa akan kedudukannya sebagai wakil rakyat.
Pikiran mereka pun “terlihat” semakin sempit. Politik hanya dipahami sebagai arena kompetisi untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Perdebatan yang dilakukan hanya untuk membela dan mempertahankan kepentingan kelompoknya. Kursi kekuasaan harus tetap tampak semengkilap mungkin di tengah kegelapan.
Politik yang mendidik serta mencerahkan pun nyaris tidak pernah mereka perlihatkan pada rakyat. Justru yang sering tampil di berbagai media massa hanyalah politisi yang minim pemikiran. Kaya kata dan kalimat tapi miskin ide. Karenanya, tidaklah mengherankan jika kehidupan politik di tanah air semakin dipenuhi oleh transaksi-transaksi politik. Bukan politik sebagai suatu paradigma yang penuh konsep atau ide-ide tentang pencerahan kehidupan bermasyarakat.
Hal ini memunculkan pertanyaan. Apakah mereka lupa, esensi dari politik?. Atau mereka memang tidak pernah mempelajari secara serius apa itu politik?. Akibatnya, politik semakin mengalami pemerosotan makna. Yang berujung pada pendangkalan pemahaman tentang politik. Pendangkalan pemahaman ini juga berdampak pada hilangnya makna terdalam dari politik.
Politik bukan hanya urusan kekuasaan. Politik juga bukan hanya distribusi atau alokasi kekuasaan. Tapi lebih dari itu. Politik adalah persoalan tata kelola hidup bersama. Seperti yang diungkapkan Aristoteles, seorang filsuf Yunani, politik merupakan cetusan aktivitas agung dari makhluk yang bernama manusia. Politik adalah cetusan kesempurnaan kodrat sosialitas, rasionalitas, sekaligus moralitas manusia (Prof. Dr. E. Armada Riyanto. CM, 2011; 15).
Bahkan, Aristoteles juga memandang politik sebagai asosiasi atau komunitas manusia yang bertujuan untuk mewujudkan kebaikan utama. Politik merupakan manifestasi hasrat manusia untuk hidup berkeutamaan dalam sebuah kolektivitas. Politik berakar pada hasrat manusia untuk hidup bermoral (Donny Gahral Adian; 2010; 1).
Aristoteles juga menyebutkan sebagai “architectonica (the rulling science)”, ilmu yang mengandaikan keragaman teknik. Konstruksi ilmu politik dari Aristotelian mengandung konsekuensi yang cukup besar. Mereka yang terlibat dalam politik haruslah yang benar-benar memiliki kemampuan serta pemahaman yang tinggi tentang politik. Bahkan, seorang politisi harus memiliki pemahaman yang baik tentang etika, ilmu sosial, kebijakan publik, budaya, filsafat, dan sebagainya (Prof. Dr. E. Armada Riyanto. CM, 2011; 36).