Relevansi pancasila di tengah tantangan modern
antara retorika dan penerapan nyata”
HELMI FEBRIAN DAN FATIH ALADNI
Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Indonesia.
Email : helmi.febrian107@gmail.com
Pancasila sering dianggap sebagai landasan moral dan ideologis bangsa Indonesia yang ideal. Namun, dari perspektif anti-mainstream, Pancasila sering kali lebih dijadikan alat politik daripada pedoman nyata dalam kehidupan berbangsa. Kritik semacam ini mengarah pada penerapan Pancasila yang lebih bersifat retoris daripada substansial. Banyak pihak berpendapat bahwa Pancasila kerap digunakan oleh pemerintah untuk melegitimasi kekuasaan dan membungkam kritik, terutama ketika prinsip-prinsip seperti "keadilan sosial" dan "kerakyatan" tidak sepenuhnya diwujudkan dalam kebijakan negara.
Pada masa Orde Baru, Pancasila menjadi instrumen politik yang mendukung kontrol otoriter, di mana kritik terhadap pemerintah sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan nasional. Ironisnya, nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya, seperti demokrasi dan keadilan, justru sering diabaikan. Tafsir Pancasila dipaksakan menjadi satu pandangan tunggal, padahal Pancasila seharusnya dapat dimaknai secara lebih fleksibel sesuai dengan dinamika sosial dan perubahan zaman.
Sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," menjadi contoh paling nyata di mana kenyataan tidak sesuai dengan cita-cita ideologis. Di tengah meningkatnya kesenjangan ekonomi, banyak yang meragukan komitmen pemerintah terhadap realisasi keadilan sosial. Kebijakan ekonomi sering kali lebih menguntungkan kalangan elit tertentu, membuat Pancasila tampak seperti slogan politik tanpa substansi yang nyata.
Pendidikan Pancasila juga menjadi bagian dari masalah ini. Di sekolah-sekolah dan universitas, Pancasila sering diajarkan secara kaku sebagai materi hafalan, tanpa ruang untuk diskusi kritis. Akibatnya, banyak generasi muda yang tidak merasakan relevansi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan melihatnya hanya sebagai doktrin formal.
Di era digital dan globalisasi, Pancasila menghadapi tantangan baru. Pertanyaan muncul mengenai relevansi nilai-nilai yang dirumuskan pada tahun 1945 dengan dunia yang terus berubah dan semakin global. Kebebasan berekspresi di dunia maya kadang bertentangan dengan nasionalisme yang dikaitkan dengan Pancasila, dan pemerintah sering kali menggunakan alasan "menjaga nilai-nilai Pancasila" untuk membatasi kebebasan tersebut.
Pluralisme dalam Pancasila juga sering kali hanya menjadi retorika tanpa langkah konkret untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar inklusif. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama atau etnis masih sering terjadi, menunjukkan bahwa nilai-nilai pluralisme Pancasila belum sepenuhnya terwujud dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia.