Mohon tunggu...
Helmi Faisal 55522110039
Helmi Faisal 55522110039 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Pajak International

Helmi Faisal Kholagi 55522110039; Jurusan Magister Akuntansi; Fakultas Ekonomi dan Bisnis; Universitas Mercubuana; Mata Kuliah Pajak International; Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 1 Fenomena Base Erosion And Profit Shifting (BEPS) dan Rendahnya Tax Ratio di Indonesia

13 Oktober 2023   16:41 Diperbarui: 14 Oktober 2023   21:30 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)

Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) adalah suatu kejadian yang merujuk pada strategi penghindaran pajak yang melibatkan dua aspek utama, yaitu Base Erosion dan Profit Shifting. Dalam konteks ini, Base Erosion mengacu pada praktik perusakan atau penggerusan basis pemajakan domestik, sedangkan Profit Shifting mencakup perpindahan keuntungan perusahaan dari satu negara ke negara lain. BEPS menjadi isu yang signifikan dalam arena perpajakan global karena berpotensi mengurangi basis penerimaan pajak suatu negara dan menciptakan ketidaksetaraan dalam distribusi beban pajak.

Base Erosion, dalam konteks BEPS, merujuk pada upaya perusahaan untuk mengurangi kewajiban pajaknya dengan cara memanfaatkan celah atau kelemahan dalam sistem perpajakan domestik. Ini bisa melibatkan pemindahan laba atau biaya dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lain yang menawarkan tarif pajak lebih rendah atau memiliki kebijakan perpajakan yang lebih menguntungkan. Dengan cara ini, perusahaan dapat mengurangi basis pemajakan di negara asalnya, mengakibatkan penurunan penerimaan pajak yang seharusnya diterima oleh pemerintah.

Profit Shifting, sementara itu, melibatkan perpindahan sengaja keuntungan perusahaan dari tempat dengan tingkat pajak tinggi ke tempat dengan tingkat pajak lebih rendah. Perusahaan seringkali menggunakan berbagai strategi, seperti transfer harga yang tidak adil atau pemindahan hak atas kekayaan intelektual, untuk menciptakan struktur keuangan yang mengarah pada penurunan laba yang dikenakan pajak di yurisdiksi tinggi. Hasilnya adalah penurunan penerimaan pajak di negara asal keuntungan, sementara negara dengan tarif pajak lebih rendah mendapatkan manfaat.

Perkembangan teknologi dan globalisasi telah mempermudah perusahaan untuk melakukan praktik BEPS. Misalnya, dengan adanya transaksi lintas batas yang kompleks dan adopsi teknologi informasi, perusahaan dapat dengan mudah memindahkan keuntungan mereka secara virtual tanpa perlu memindahkan fisik aset. Hal ini memberikan tantangan bagi pemerintah dalam mengawasi dan mengendalikan praktik BEPS.

Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah menjadi pemimpin dalam upaya untuk mengatasi masalah BEPS. Pada tahun 2013, OECD memulai Inisiatif BEPS yang bertujuan untuk mengembangkan rekomendasi dan solusi yang dapat diterapkan secara global. Inisiatif ini melibatkan kerja sama antara lebih dari 135 negara untuk mengidentifikasi celah-celah perpajakan dan mengusulkan tindakan preventif.

Beberapa tindakan konkret yang diusulkan oleh OECD dalam rangka mengatasi BEPS termasuk penyempurnaan aturan transfer harga, peningkatan keterbukaan informasi keuangan perusahaan, dan peningkatan kerja sama internasional dalam pertukaran informasi perpajakan. Selain itu, OECD juga mengusulkan pengembangan panduan dan prinsip-prinsip untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak ganda dan penggunaan entitas khusus yang hanya dibentuk untuk tujuan penghindaran pajak.

Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengatasi BEPS, masalah ini tetap menjadi perhatian global karena perusahaan terus mencari celah baru dan strategi inovatif untuk mengoptimalkan struktur pajak mereka. Oleh karena itu, kerja sama internasional dan komitmen bersama antar negara menjadi kunci dalam mengatasi tantangan BEPS dan memastikan bahwa sistem perpajakan global adil dan berkelanjutan.

Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat internasional untuk memahami dampak BEPS terhadap keadilan pajak dan berbagai sektor ekonomi. Pemahaman yang lebih baik tentang strategi BEPS dapat membantu dalam merancang kebijakan perpajakan yang efektif dan mencegah praktik penghindaran pajak yang merugikan penerimaan pajak negara.

Pada akhirnya, penanganan efektif terhadap Base Erosion and Profit Shifting memerlukan komitmen global untuk melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perusahaan, dan organisasi internasional. Hanya dengan kerja sama yang erat dan implementasi tindakan preventif yang efektif, masyarakat internasional dapat mengatasi tantangan yang dihadirkan oleh BEPS dan memastikan bahwa sistem perpajakan global mencerminkan prinsip keadilan dan keberlanjutan.

Mengapa timbul Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)

Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) merupakan fenomena kompleks yang muncul sebagai hasil dari perbedaan aturan dan tarif pajak antara berbagai negara di seluruh dunia. Untuk memahami mengapa BEPS terjadi, kita perlu mengeksplorasi beberapa faktor yang memicu praktik ini, termasuk perbedaan regulasi perpajakan, praktik transfer harga yang tidak adil, serta pemanfaatan negara bebas pajak atau tax haven.

Salah satu faktor utama yang memicu terjadinya BEPS adalah perbedaan aturan perpajakan antara negara-negara yang berlaku di tingkat global. Setiap negara memiliki sistem perpajakan yang unik, termasuk tarif pajak, insentif perpajakan, dan metode perhitungan laba yang berbeda. Perbedaan ini menciptakan celah atau kesenjangan dalam peraturan perpajakan yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengurangi kewajiban pajak mereka secara legal. Misalnya, beberapa negara mungkin memiliki tarif pajak korporasi yang lebih rendah daripada negara lain, atau mereka mungkin menawarkan insentif perpajakan khusus untuk industri tertentu. Dalam konteks ini, perusahaan dapat memanfaatkan perbedaan ini dengan memindahkan laba mereka ke negara dengan tarif pajak lebih rendah atau memanfaatkan insentif perpajakan yang ditawarkan oleh suatu yurisdiksi.

Praktik transfer harga juga menjadi faktor penting dalam terjadinya BEPS. Transfer harga melibatkan penentuan harga pada transaksi antar perusahaan yang berafiliasi, dan seringkali dapat dimanipulasi untuk menggeser laba dari satu entitas perusahaan ke entitas perusahaan lainnya di yurisdiksi yang menawarkan tarif pajak lebih rendah. Misalnya, suatu perusahaan dapat menetapkan harga yang tidak adil untuk transfer barang atau jasa antar anak perusahaan yang berada di negara dengan tarif pajak tinggi, sehingga mengurangi laba yang dikenakan pajak di negara tersebut.

Pentingnya proporsi pihak berelasi dalam transaksi bisnis juga menjadi faktor yang dapat memicu BEPS. Jika proporsi transaksi dengan pihak yang berelasi tinggi, terutama dalam hal piutang dan utang, maka perusahaan dapat memanfaatkan situasi ini untuk memindahkan keuntungan mereka ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih rendah. Beberapa perusahaan mungkin memanfaatkan entitas berbasis di negara bebas pajak sebagai perantara untuk mencapai tujuan ini.

Negara bebas pajak atau tax haven juga memegang peran penting dalam terjadinya BEPS. Negara-negara ini menawarkan tarif pajak yang rendah atau bahkan tidak ada pajak sama sekali, sehingga menjadi daya tarik bagi perusahaan yang ingin mengoptimalkan struktur perpajakan mereka. Pemanfaatan tax haven dapat mencakup pembentukan entitas bisnis di negara tersebut atau bahkan hanya pengalihan kepemilikan atas aset atau laba ke entitas di tax haven untuk mengurangi beban pajak.

Selain itu, perkembangan teknologi dan globalisasi juga telah memainkan peran dalam meningkatkan peluang untuk terjadinya BEPS. Transaksi lintas batas yang kompleks, perkembangan bisnis berbasis digital, dan kemampuan perusahaan untuk dengan mudah mentransfer laba secara virtual melalui entitas di berbagai yurisdiksi semuanya berkontribusi pada kesulitan pengawasan dan penegakan peraturan perpajakan.

Untuk mengatasi BEPS, banyak negara dan organisasi internasional telah berusaha meningkatkan kerja sama dan mengembangkan pedoman serta peraturan yang lebih ketat. Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah memainkan peran kunci dalam menyusun rekomendasi dan prinsip-prinsip yang dirancang untuk mengatasi masalah BEPS secara global.

Langkah-langkah yang diusulkan untuk mengatasi BEPS melibatkan perbaikan aturan transfer harga, peningkatan transparansi keuangan perusahaan, dan kerja sama internasional dalam pertukaran informasi perpajakan. Selain itu, banyak negara telah meninjau dan memperbarui peraturan perpajakan mereka untuk meminimalkan celah yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melakukan BEPS.

Meskipun upaya telah dilakukan, BEPS tetap menjadi tantangan yang signifikan dalam arena perpajakan global. Perusahaan terus berinovasi dan mencari celah baru untuk mengoptimalkan struktur perpajakan mereka, sehingga memerlukan tanggapan yang terus menerus dan kerja sama lintas batas untuk memastikan bahwa sistem perpajakan global adil, efisien, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.

ddtc.go.id
ddtc.go.id

Bagaimana praktik Base Erosion and Profit Shifting?

Pelaksanaan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dilakukan oleh perusahaan melalui beberapa strategi yang mencakup aspek multinasionalitas, praktik transfer pricing, thin capitalization, dan pemanfaatan aset tidak berwujud (intangible assets)

Multinasionalitas:

Strategi multinasionalitas melibatkan kehadiran perusahaan afiliasi di berbagai negara. Dari perspektif perdagangan, keberadaan perusahaan afiliasi dapat meningkatkan keunggulan kompetitif dan laba perusahaan. Namun, hal ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak lebih rendah. Perusahaan seringkali mendirikan afiliasi di negara dengan tarif pajak rendah atau bahkan sebagai tax haven untuk memperoleh keuntungan pajak yang lebih menguntungkan.

Transfer Pricing:

Praktik transfer pricing melibatkan pengaturan harga transaksi lintas negara, yang dapat dimanfaatkan untuk mengalihkan keuntungan secara artifisial. Perbedaan tarif harga transfer antara negara asal perusahaan dan negara mitra dapat menyebabkan perusahaan di Indonesia mengalami kerugian yang mengakibatkan kewajiban pajak yang lebih rendah. Pengaturan harga transfer dapat disesuaikan untuk maksud penghindaran pajak.

Thin Capitalization:

Praktik thin capitalization melibatkan pemberian pinjaman dengan bunga tinggi kepada perusahaan afiliasi. Dengan cara ini, perusahaan dapat memanipulasi struktur modalnya untuk mengurangi laba yang dikenakan pajak di negara asal. Pinjaman dengan bunga tinggi dapat menyebabkan beban keuangan yang signifikan, mengurangi laba kena pajak, dan akhirnya mengurangi kewajiban pajak.

Aset Tidak Berwujud (Intangible Assets):

Praktik BEPS melalui aset tidak berwujud dilakukan dengan memanfaatkan sifat unik dari aset yang tidak berwujud. Aset ini dapat dimanfaatkan secara bersamaan oleh perusahaan di berbagai wilayah. Strategi ini memungkinkan perusahaan untuk memindahkan keuntungan secara efisien ke yurisdiksi dengan tarif pajak lebih rendah. Pemanfaatan intangible assets dapat melibatkan transfer hak kekayaan intelektual, seperti hak cipta atau merek dagang, ke entitas di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.

Dalam praktik BEPS, perusahaan secara sadar mengambil keuntungan dari perbedaan aturan perpajakan antar negara untuk mengoptimalkan kewajiban pajak mereka secara legal tetapi agresif. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan dalam pembayaran pajak yang seharusnya dibayar oleh perusahaan di negara tempat mereka beroperasi. Praktik-praktik ini mendorong kebutuhan akan kerja sama internasional dan reformasi perpajakan yang lebih ketat untuk mengatasi celah dan memastikan kontribusi pajak yang adil dari perusahaan multinasional.

Apa itu Tax ratio

Tax ratio, atau rasio pajak, adalah suatu ukuran yang menggambarkan proporsi penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Ini adalah indikator yang penting dalam menganalisis sejauh mana pemerintah suatu negara bergantung pada pendapatan pajak untuk membiayai kebijakan publik dan layanan umum. Dalam konteks ini, tax ratio memberikan gambaran tentang kontribusi pajak terhadap perekonomian suatu negara dan dapat memberikan wawasan tentang kesehatan keuangan pemerintaah

Rasio pajak dihitung dengan membagi total penerimaan pajak oleh PDB, kemudian mengalikan hasilnya dengan 100 untuk menghasilkan persentase. Formula umumnya adalah sebagai berikut:

Tax Ratio = (Total Penerimaan Pajak / PDB)×100

Tax Ratio=( PDB / Total Penerimaan Pajak)×100

Dengan kata lain, tax ratio mengukur sejauh mana pemerintah dapat mengumpulkan dana dari sektor pajak sebagai bagian dari aktivitas ekonomi keseluruhan.

Tax ratio dapat memberikan indikasi tentang tingkat ketergantungan suatu negara terhadap pajak sebagai sumber pendapatan utama. Tingkat rendahnya tax ratio dapat menunjukkan bahwa pemerintah mengandalkan sumber pendapatan lain, seperti penerimaan dari sumber daya alam atau bantuan luar negeri, untuk membiayai belanja publik. Sebaliknya, tingkat tinggi dari tax ratio mungkin mencerminkan tingginya ketergantungan pemerintah pada pajak untuk memenuhi kebutuhan fiskalnya.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tax ratio suatu negara:

Struktur Pajak:

Komposisi dan struktur pajak suatu negara memainkan peran penting dalam menentukan tax ratio. Beberapa pajak, seperti pajak penghasilan perusahaan dan pajak pertambahan nilai (PPN), memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap tax ratio daripada pajak lainnya

Ketidaksetaraan dalam Penerimaan Pajak:

Jika penerimaan pajak lebih terpusat pada sektor atau kelompok tertentu dalam masyarakat, ini dapat mempengaruhi tax ratio. Ketidaksetaraan ini dapat disebabkan oleh aturan perpajakan yang tidak merata atau ketidaksetaraan ekonomi yang mendasar.

Pertumbuhan Ekonomi:

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan PDB, sehingga meningkatkan tax ratio jika total penerimaan pajak tetap tinggi. Sebaliknya, resesi atau pertumbuhan ekonomi yang lambat dapat mengurangi tax ratio.

Efisiensi dalam Pengumpulan Pajak:

Tingkat efisiensi dalam mengumpulkan pajak juga memainkan peran. Jika ada efisiensi yang baik dan tingkat kepatuhan pajak tinggi, maka pemerintah dapat mengumpulkan lebih banyak pajak relatif terhadap ukuran ekonomi.

Strategi Fiskal Pemerintah:

Kebijakan fiskal pemerintah, termasuk tingkat tarif pajak dan insentif perpajakan, dapat mempengaruhi sejauh mana pajak memberikan kontribusi terhadap PDB.

Penting untuk diingat bahwa tax ratio bukanlah ukuran mutlak untuk menilai efisiensi atau keberlanjutan sistem perpajakan suatu negara. Terdapat berbagai faktor dan konteks yang perlu dipertimbangkan. Sebagai contoh, negara-negara dengan sumber daya alam yang melimpah mungkin memiliki tax ratio yang rendah karena mereka dapat mengandalkan pendapatan dari ekspor sumber daya alam.

Dalam konteks Indonesia, tax ratio telah menjadi fokus perhatian dan perdebatan. Meskipun ekonomi Indonesia terus berkembang, tax ratio-nya masih dianggap relatif rendah dibandingkan dengan beberapa negara sebanding. Rendahnya tax ratio dapat mencerminkan beberapa tantangan, termasuk ketidaksetaraan dalam perpajakan, kebijakan insentif yang mungkin tidak efektif, dan kesulitan dalam mengumpulkan pajak dari sektor informal.

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan tax ratio dan efisiensi sistem perpajakan. Reformasi pajak, termasuk revisi tarif pajak dan peningkatan transparansi, telah diusulkan dan diimplementasikan untuk meningkatkan keadilan dan keberlanjutan sistem perpajakan.

Tingginya tax ratio bukanlah tujuan yang diinginkan secara otomatis. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa sistem perpajakan adil, efisien, dan mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan. Oleh karena itu, peran pemerintah dan kebijakan perpajakan yang bijaksana sangat penting dalam membentuk tax ratio yang seimbang dan berkelanjutan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

ddtc.go.id
ddtc.go.id

Bagaimana Keterkaitan BEPS dan Rendahnya Tax Ratio di Indonesia

Keterkaitan antara Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan rendahnya tax ratio di Indonesia adalah fenomena yang kompleks dan melibatkan sejumlah faktor ekonomi, perpajakan, dan praktik bisnis. BEPS, sebagai bentuk penghindaran pajak yang melibatkan perpindahan laba dan pengurangan basis pemajakan, dapat berkontribusi secara signifikan terhadap rendahnya tax ratio di Indonesia. Mari kita telaah keterkaitan ini dengan lebih rinci.

Pemindahan Laba dan Tax Ratio

BEPS melibatkan praktik pemindahan laba dari yurisdiksi dengan tarif pajak tinggi, seperti Indonesia, ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih rendah. Perusahaan cenderung menciptakan struktur perpajakan yang kompleks untuk memastikan bahwa laba yang dihasilkan dari kegiatan bisnis di Indonesia dipindahkan ke tempat-tempat dengan tarif pajak yang lebih ringan atau bahkan ke negara bebas pajak. Sebagai hasilnya, penerimaan pajak di Indonesia menurun, dan tax ratio menjadi rendah karena kurangnya kontribusi pajak yang seharusnya diterima dari keuntungan yang dihasilkan di dalam negeri.

Pemanfaatan Negara Bebas Pajak:

BEPS seringkali melibatkan pemanfaatan negara bebas pajak atau tax haven. Perusahaan cenderung membentuk entitas anak perusahaan di negara-negara ini untuk memindahkan laba mereka, memanfaatkan tarif pajak yang rendah atau tanpa pajak sama sekali. Dengan demikian, sebagian besar pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan tidak dikenakan pajak di Indonesia, menyebabkan rendahnya tax ratio.

Manipulasi Transfer Pricing:

Praktik BEPS sering dikaitkan dengan manipulasi transfer pricing, yaitu penentuan harga transaksi antara entitas yang berafiliasi dalam suatu perusahaan. Perusahaan dapat menetapkan harga transfer yang tidak adil untuk barang atau jasa yang diperdagangkan antar anak perusahaan, dengan cara yang mengurangi laba yang dikenakan pajak di Indonesia. Akibatnya, penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh dari kegiatan bisnis ini menjadi berkurang, berdampak langsung pada rendahnya tax ratio.

Pemindahan Kekayaan Intelektual:

BEPS sering melibatkan pemindahan kekayaan intelektual, seperti hak cipta, merek dagang, dan paten, ke yurisdiksi dengan tarif pajak lebih rendah. Perusahaan dapat menggunakan struktur perpajakan untuk memindahkan keuntungan yang dihasilkan dari kekayaan intelektual ini, mengakibatkan laba yang tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak rendah di Indonesia. Ini memberikan sumbangan yang lebih kecil terhadap penerimaan pajak dan berkontribusi pada rendahnya tax ratio.

Kurangnya Transparansi dan Pelaporan:

BEPS sering dimungkinkan oleh kurangnya transparansi dan persyaratan pelaporan yang ketat. Keterbatasan dalam pengungkapan informasi keuangan dan struktur perpajakan perusahaan dapat memberikan celah bagi praktik-praktik BEPS tanpa terdeteksi. Peningkatan transparansi dan persyaratan pelaporan yang ketat adalah kunci untuk mengatasi rendahnya tax ratio yang disebabkan oleh praktik-praktik tersebut.

Ketidaksetaraan dalam Aturan Perpajakan:

Praktik BEPS sering memanfaatkan ketidaksetaraan dalam aturan perpajakan. Jika aturan perpajakan tidak cukup kuat atau tidak dapat menanggapi secara efektif terhadap strategi penghindaran pajak, perusahaan dapat dengan mudah melakukan praktik-praktik BEPS. Pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa aturan perpajakan cukup kuat dan dapat diimplementasikan secara efektif untuk mencegah terjadinya BEPS dan memperkuat tax ratio.

Ketidaksetaraan dalam Penerimaan Pajak antar Sektor:

BEPS tidak hanya memengaruhi jumlah total penerimaan pajak, tetapi juga dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam penerimaan pajak antar sektor ekonomi. Beberapa sektor mungkin lebih rentan terhadap praktik-praktik BEPS daripada yang lain, menyebabkan ketidaksetaraan dalam kontribusi pajak sektor-sektor tersebut terhadap tax ratio secara keseluruhan.

Ketidaksetaraan dalam Akses ke Informasi dan Sumber Daya:

Praktik BEPS dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang memiliki akses lebih besar terhadap informasi dan sumber daya, seperti tim ahli perpajakan yang besar dan kemampuan untuk mengakses nasihat perpajakan internasional. Hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam kemampuan pemerintah untuk mendeteksi dan mencegah praktik-praktik BEPS, memberikan kontribusi pada rendahnya tax ratio.

Pertumbuhan Investasi Asing dan Teknologi:

Pertumbuhan investasi asing dan penggunaan teknologi dalam bisnis juga dapat mempercepat praktik BEPS. Perusahaan multinasional yang mengintegrasikan teknologi canggih dapat lebih mudah mengelola struktur perpajakan mereka untuk mengoptimalkan keuntungan. Hal ini dapat menciptakan tekanan tambahan pada tax ratio Indonesia jika investasi asing tidak diatur dan dipantau secara efektif.

Kerja Sama Internasional:

BEPS sering melibatkan perpindahan keuntungan lintas batas, dan oleh karena itu, penanganan efektif BEPS memerlukan kerja sama internasional yang kuat. Jika kerja sama ini kurang efektif, perusahaan dapat dengan mudah memanfaatkan perbedaan aturan perpajakan antar negara, merugikan penerimaan pajak dan tax ratio di Indonesia.

Dampak Bisnis Digital:

Bisnis digital, yang semakin berkembang pesat, menciptakan tantangan baru dalam mengatasi BEPS. Transaksi lintas batas dalam bisnis digital dapat terjadi tanpa kehadiran fisik yang signifikan, memberikan peluang bagi perusahaan untuk memindahkan laba secara efisien dan mengurangi kewajiban pajak di Indonesia, berdampak pada tax ratio.

Perlunya Reformasi Perpajakan:

Untuk mengatasi rendahnya tax ratio yang disebabkan oleh BEPS, perlu dilakukan reformasi perpajakan. Ini termasuk penguatan aturan perpajakan, peningkatan transparansi, dan penyesuaian aturan perpajakan untuk mengakomodasi perkembangan bisnis dan teknologi yang terus berlanjut.

Keterkaitan antara BEPS dan rendahnya tax ratio di Indonesia menciptakan tantangan serius bagi pemerintah dan sistem perpajakan. Diperlukan pendekatan komprehensif yang mencakup perubahan dalam aturan perpajakan, peningkatan transparansi, dan kerja sama internasional untuk secara efektif menanggulangi praktik-praktik BEPS dan memastikan bahwa perusahaan memberikan kontribusi yang adil terhadap penerimaan pajak domestik. Rendahnya tax ratio bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah keadilan dan keberlanjutan fiskal, yang memerlukan tindakan tegas dan koordinasi baik di tingkat nasional maupun internasional.

Bagaimana Peran Pemerintah terhadap Rendahnya Tax Ratio

Pemerintah Indonesia memiliki peran krusial dalam menangani rendahnya tax ratio, terutama dalam konteks Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yang merupakan fenomena perpindahan laba dan pengurangan basis pemajakan oleh perusahaan untuk menghindari kewajiban pajak. Berbagai langkah dan strategi diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa perusahaan membayar pajak sesuai dengan keuntungan yang dihasilkan di Indonesia.

Pemerintah Indonesia memiliki peran kunci dalam menangani rendahnya tax ratio yang terkait dengan BEPS. Melalui reformasi aturan perpajakan, kerjasama internasional, penegakan hukum yang tegas, dan upaya terkoordinasi dengan sektor swasta, pemerintah dapat menciptakan lingkungan perpajakan yang adil, transparan, dan berkeberlanjutan. Upaya ini bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan pajak, tetapi juga untuk membangun kepercayaan masyarakat, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan sistem perpajakan yang efisien dan adil.

Daftar Pustaka

OECD. (2020). Tax Challenges Arising from Digitalisation – Report on Pillar Two Blueprint: Inclusive Framework On BEPS, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting. https://doi.org/https://doi.org/10.1787/abb4c3d1-en 

OECD. (2021). OECD releases Pillar Two model rules for domestic implementation of 15% global minimum tax - OECD. https://www.oecd.org/tax/beps/oecd-releases-pillar-two-model-rules-fordomestic-implementation-of-15-percent-global-minimum-tax.htm 

DDTC Fiscal Researce. (2017, April 20). Memahami Arti Tax Ratio. https://news.ddtc.co.id/memahami-arti-tax-ratio-9895

Wahyuni, S. F. (2017). Peran Kepemlikan Institusional dalam Memoderasi Pengaruh Current Ratio, Debt to Equity Ratio, Total Asset Turnover dan Inventory Turnover terhadap Return on Equity di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Riset Finansial Bisnis Vol 1 No 2 

(2016). G20/OECD Principles of Corporate Governance. In G20/OECD Principles of Corporate Governance. https://doi.org/10.1787/9789264257443-tr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun