Tax Evasion, atau dikenal juga sebagai pengemplangan pajak, merujuk pada tindakan ilegal yang dilakukan oleh perorangan atau korporasi dengan sengaja menyembunyikan atau memberikan data palsu kepada otoritas perpajakan. Tujuan utama dari penggelapan pajak adalah mengurangi kewajiban pajak dengan tidak melaporkan data yang sebenarnya, mulai dari penghasilan pribadi hingga keuntungan perusahaan. Aktivitas ini umumnya terkait dengan sektor ekonomi informal.
Sebaliknya, penghindaran pajak adalah pendekatan legal yang memanfaatkan celah-celah dalam hukum perpajakan. Melalui penghindaran pajak, entitas atau individu dapat secara sah meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayarkan. Meskipun bersifat legal, baik penggelapan maupun penghindaran pajak masih dianggap sebagai tindakan ketidakpatuhan pajak karena keduanya bertujuan mengurangi kewajiban pajak, meskipun dengan perbedaan status legalitas.
Pada tahun 1968, ekonomi penerima Nobel, Gary Becker, memperkenalkan teori keekonomian kriminal, yang menjadi dasar bagi M.G. Allingham dan A. Sandmo dalam merancang model penggelapan pajak pada tahun 1972. Model ini menfokuskan pada penggelapan penghasilan sebagai sumber pajak utama di negara maju, dengan tingkat penggelapan dipengaruhi oleh seberapa ketat pengawasan dan seberapa berat hukuman yang mungkin diterapkan jika terjadi penggelapan.
Studi yang dilakukan oleh Alstadsæter et al. pada tahun 2017 menunjukkan bahwa individu dengan penghasilan besar memiliki kemungkinan sepuluh kali lipat lebih besar untuk melakukan penggelapan pajak dibandingkan dengan mereka yang memiliki penghasilan biasa. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor sosioekonomi memainkan peran penting dalam menentukan perilaku perpajakan.
Teori ekonomi yang mengkaji perilaku penggelapan pajak pertama kali diajukan oleh Allingham dan Sandmo pada tahun 1972. Model tersebut memasukkan variabel seperti tarif pajak, probabilitas terdeteksi oleh agen ekonomi, tarif penalti, dan pendapatan bersih. Dalam kerangka teoretis ini, dengan asumsi bahwa agen ekonomi bersifat risk averse dan tarif penalti dikenakan pada pendapatan yang tidak dilaporkan, terdapat efek substitusi yang menyebabkan peningkatan tarif pajak meningkatkan perilaku penggelapan pajak, sementara efek pendapatan menunjukkan bahwa peningkatan tarif pajak dapat meningkatkan kepatuhan pajak. Meskipun model Allingham dan Sandmo menyimpulkan adanya ambiguitas terkait tarif pajak, Yitzhaki pada tahun 1974 mengkritisi model tersebut dengan merubah asumsi utama mengenai tarif penalti. Meskipun asumsi Yitzhaki sesuai dengan banyak peraturan perpajakan, modelnya menjadi bertentangan dengan intuisi ekonomi dan mayoritas penelitian empiris mengenai penggelapan pajak.
Sejumlah penelitian kemudian mencoba untuk mengeksplorasi ulang asumsi-asumsi dalam model tersebut. Gahramanov pada tahun 2009, Dalamagas pada tahun 2011, dan Yaniv pada tahun 2013 mengadopsi pendekatan yang berbeda, mempertimbangkan variasi dalam bracket penghasilan, analisis dinamis, dan tingkat konsumsi, untuk menguji kembali ambiguitas hasil kerangka teoretis yang diajukan oleh Allingham dan Sandmo.
Namun, memperkirakan perilaku penggelapan pajak dari suatu model teoretis menjadi tugas sulit dengan sejumlah kendala. Clotfelter pada tahun 1983 menjelaskan bahwa kendala utama melibatkan cara mengukur indikasi penggelapan pajak, menentukan spesifikasi model untuk mendeteksi indikasi penggelapan, dan memberikan penalti atas pelanggaran tersebut.
Dalam konteks kebijakan tarif tunggal, penerapan tarif tersebut bisa menjadi zero sum game, memindahkan beban pajak dari kalangan berpenghasilan tinggi ke kalangan berpenghasilan rendah dan menengah. Dampak penerapan tarif tunggal terhadap indikasi penggelapan pajak sulit diukur karena variasi tarif pajak yang dihadapi oleh berbagai Wajib Pajak.
Paulus dan Peichl pada tahun 2009 berargumen bahwa dampak penerapan tarif tunggal terhadap penurunan indikasi penggelapan pajak cenderung lebih lemah di negara maju daripada di negara berkembang. Meskipun demikian, efeknya pada indikasi penggelapan pajak dapat bervariasi bergantung pada tingkat penghasilan Wajib Pajak, dengan kecenderungan meningkatkan indikasi penggelapan pada Wajib Pajak berpenghasilan rendah, seperti yang dikemukakan oleh Fougere dan Ruggeri pada tahun 1998.
Kerangka kerja teoretis yang diajukan oleh Allingham dan Sandmo serta Yitzhaki menggunakan asumsi bahwa jumlah penghasilan sebenarnya hanya diketahui oleh Wajib Pajak, tetapi dapat terungkap melalui pemeriksaan (audit) oleh otoritas pajak dengan biaya administratif. Wajib Pajak pada kondisi tertentu dapat memilih untuk melakukan penggelapan pajak dengan melaporkan jumlah penghasilan di bawah nilai sebenarnya. Probabilitas Wajib Pajak terdeteksi dalam melakukan penggelapan pajak, yang diwakili oleh θ, dapat mengakibatkan penerapan penalti (δ) atas penghasilan yang tidak dilaporkan. Dalam konteks ini, jika δ > 1, penalti yang dikenakan dapat melebihi nilai penghasilan sebenarnya.
Untuk memaksimalkan utilitas yang diharapkan, Wajib Pajak yang bersifat risk averse akan memilih untuk melaporkan penghasilannya (X), sehingga menghasilkan penghasilan yang tidak dilaporkan sebesar (π − X). Fungsi utilitas U(.) mencerminkan preferensi Wajib Pajak terhadap pilihan
Penggelapan pajak, atau yang dikenal sebagai pengemplangan pajak, merujuk pada tindakan ilegal di mana perorangan atau korporasi dengan sengaja tidak melaporkan data pajak yang sebenarnya kepada otoritas perpajakan. Tujuannya jelas: mengurangi liabilitas pajak. Mulai dari pendapatan pribadi hingga keuntungan perusahaan, segala data bisa menjadi sasaran penggelapan. Aktivitas ini seringkali terkait dengan ekonomi informal.
Di sisi lain, penghindaran pajak adalah pendekatan legal untuk memanfaatkan celah di dalam hukum perpajakan. Melalui cara ini, individu atau perusahaan dapat secara sah mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan. Meskipun bersifat legal, baik penggelapan maupun penghindaran pajak masih dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan pajak, karena keduanya bertujuan untuk mengurangi kewajiban pajak, meskipun dengan perbedaan dalam aspek legalitasnya.
Pada tahun 1968, ekonom penerima Nobel Gary Becker menciptakan dasar untuk teori keekonomian kriminal. Teori ini menjadi landasan bagi M.G. Allingham dan A. Sandmo, yang pada tahun 1972 merancang model penggelapan pajak. Model ini memfokuskan pada penggelapan penghasilan sebagai sumber pajak utama di negara maju, dengan tingkat penggelapan yang tergantung pada ketatnya pengawasan dan beratnya hukuman.
Penelitian terbaru oleh Alstadsæter et al. pada tahun 2017 menunjukkan bahwa individu dengan penghasilan besar memiliki kemungkinan sepuluh kali lipat lebih besar untuk melakukan penggelapan pajak dibandingkan dengan mereka yang memiliki penghasilan biasa. Ini menyoroti pengaruh signifikan dari faktor sosioekonomi pada perilaku penggelapan pajak.
Teori ekonomi pertama kali diusulkan oleh Allingham dan Sandmo pada tahun 1972, memasukkan variabel seperti tarif pajak, probabilitas terdeteksi oleh agen ekonomi, tarif penalti, dan pendapatan bersih. Dalam kerangka teoretis ini, asumsi dasar adalah bahwa agen ekonomi bersifat risk averse, dan tarif penalti dikenakan pada pendapatan yang tidak dilaporkan. Ini mengakibatkan efek substitusi, di mana peningkatan tarif pajak meningkatkan perilaku penggelapan pajak, sementara efek pendapatan menyebabkan peningkatan kepatuhan pajak. Meskipun model Allingham dan Sandmo menunjukkan ambiguitas terhadap tarif pajak, model Yitzhaki pada tahun 1974 mengkritik asumsi ini, menyatakan bahwa peningkatan tarif pajak hanya memengaruhi pendapatan dan tidak memengaruhi perilaku penggelapan.
Berbagai penelitian selanjutnya, seperti Gahramanov pada tahun 2009, Dalamagas pada tahun 2011, dan Yaniv pada tahun 2013, telah mencoba memeriksa ulang asumsi-asumsi dalam model ini. Mereka mempertimbangkan variasi dalam bracket penghasilan, analisis dinamis, dan tingkat konsumsi untuk membuktikan ambiguitas hasil dari kerangka teoretis yang diusulkan oleh Allingham dan Sandmo.
Dalam upaya memahami perilaku penggelapan pajak, Clotfelter pada tahun 1983 menyoroti kendala dalam mengestimasi model empiris. Pengukuran indikasi penggelapan pajak dapat bersifat langsung atau tidak langsung, dan khususnya dalam konteks kebijakan tarif tunggal, dampak penerapan tarif tersebut tidak mudah diukur. Terdapat potensi pemindahan beban pajak dari kalangan berpenghasilan tinggi ke kalangan berpenghasilan rendah dan menengah.
Kerangka kerja teoretis Allingham dan Sandmo, serta Yitzhaki, menekankan penggunaan probabilitas terdeteksi oleh individu atau perusahaan. Feinstein pada tahun 1990 menyoroti bahwa tanpa adanya probabilitas pemeriksaan, estimasi kepatuhan individu/perusahaan harus dianggap sebagai koefisien reduced-form yang mencerminkan kecenderungan untuk ketidakpatuhan dan ketidakpastian terhadap pemeriksaan/audit pajak.
Meskipun data hasil pemeriksaan/audit pajak memberikan keunggulan dalam mengidentifikasi perilaku penggelapan pajak, terdapat keterbatasan inheren. Pemeriksa/auditor pajak memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup, sumber daya terbatas, dan probabilitas terdeteksi yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan peringkat pekerjaan. Wajib Pajak yang diperiksa mungkin telah melakukan penggelapan pajak, tetapi diidentifikasi sebagai WP patuh selama proses pemeriksaan/audit.
Dalam merancang kebijakan perpajakan yang efektif dan adil, pemahaman mendalam tentang kompleksitas perilaku perpajakan dan keterbatasan dalam mengestimasi serta mendeteksi penggelapan pajak menjadi esensial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H