Mohon tunggu...
Mohammad Helman Taofani
Mohammad Helman Taofani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

1982 born, happily married... A devout Pearl Jam fans, love to read, listening to music and watching movies. Write occasionally through my online journal. An avid fan of Italian Football. Going to travel sometime. Willing to travel all around the world. Would like to see the world before I die. Considering to live in another country. Obsessed to master at least five different (international) languange. A proud father of Aksara Asa-Madani.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Adaptasi, Kunci Kuasai Afrika

17 Juni 2010   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:29 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_169364" align="alignnone" width="460" caption="Buuuzzzzzz...borrrrriiiing. (Foto: Guardian)"][/caption] Rasio satu setengah gol per partai menutup ronde pertama dari fase grup Piala Dunia 2010. Itu angka yang lebih rendah bila dibanding rataan 2,37 gol/partai dari gelaran serupa di putaran yang sama 4 tahun silam di Jerman. Sebanyak 25 gol diceploskan semenjak Spihiwe Tshabalala membuka keran, sampai Gelson Fernandez menutupnya dalam laga seru di Grup H antara Spanyol melawan Swiss. Di antara itu, 23 pemain lain bergantian mencatatkan diri dalam lembar pencetak gol. Termasuk salah satunya gol bunuh diri dari bek Denmark, Simon Poulsen, yang diberikan ke Belanda. Empat tahun lalu, Miroslav Klose, Tim Cahill dan Paulo Wanchope mencatat lebih dari hanya sebiji gol kala melakoni putaran pertama. Statistik sederhana yang bisa kita tarik penggambaran tentang turnamen akbar sepakbola pertama di dunia Afrika, beserta sebuah pertanyaan: mengapa? Vonis paling dini jatuh ke Jabulani. Bola yang diproduksi Adidas tersebut menjadi kambing hitam beberapa pengamat atas kegagalan sejumlah eksekutor top menceploskan bola ke gawang lawan. Indikasi ini diperkuat dengan komentar beberapa pemain mengenai bola yang dianggap terlalu pepat, ringan, sehingga lebih mirip bola voli ketimbang bola sepak. Biasanya, ekses bola baru akan dirasakan kiper, namun tampaknya pemain non kiper juga turut merasakan getahnya. Minimnya gol hasil tembakan jarak jauh seolah menjadi preseden bahwa Jabulani memang sedikit kurang nyaman dilesakkan. Lalu indikasi kedua adalah serangan terhadap vuvuzela. Terompet berbunyi dengung tersebut, bila ditiup oleh ribuan orang menciptakan barisan lebah dengan desibel tinggi yang mampu memecah konsentrasi siapapun yang mendengarnya. Pemain dan komentator protes, karena mereka tak mampu berkonsentrasi dan komunikasi dengan baik. Semua tim merasa Piala Dunia kali ini adalah laga tandang. Teror bunyi konstan di sepanjang laga menelan sorak dan nyanyian dari pendukung mereka sendiri, sehingga tak menciptakan atmosfer semangat dan ketenangan. Faktor ketiga yang juga sering diungkit adalah masalah geografis. Ini adalah kali pertama Piala Dunia digelar di bumi selatan setelah tahun 1978 di Argentina. Ketika sebagian besar pemain yang berlaga di bumi utara mulai beradaptasi dengan hawa yang menghangat, Afrika Selatan justru mulai alami musim dingin. Gianluigi Buffon, kiper Italia, menjadi korban pertama yang tumbang kala cuaca dingin mengungkit nyeri punggungnya. Namun tiga variabel itu hanyalah persoalan adaptasi. Aklimatisasi tentu menjadi salah pertimbangan yang harus dikalkulasi. Seiring waktu, variabel di atas akan makin terkikis. Pelatih, staf dan pemain tentu tak bodoh untuk pelajari Jabulani, atasi vuvuzela dan beradaptasi dengan iklim. Mencari jawaban dengan kembali ke statistik memang gampang. Simaklah angka 24 dan nol. Lalu 16 dan 4. Bentang pertama adalah rasio tembakan ke gawang yang dilakukan Spanyol dengan jumlah gol yang mereka peroleh. Bentang kedua adalah cerita tentang Jerman. Determinasi dan mental adalah kata lain untuk Jerman. Dengan bekal itu mereka gampang menjinakkan teror vuvuzela dan kondisi iklim. Mungkin sedikit naif bila kita membayangkan Nationalmannschaft punya jatah lebih lama untuk berlatih dengan Jabulani lantaran mereka dari negeri yang sama dengan produsennya? Kesampingkan teori konsipirasi itu, tapi ambillah filsafat bahwa pemenang perang adalah pasukan yang kuasai medan. Piala Dunia 2010 masih mempunyai 32 pertandingan untuk mengejar rataan gol di turnamen sebelumnya. Partai pertama di ronde kedua fase grup Piala Dunia menjadi preseden yang baik. kala Uruguay yang menantang tuan rumah Afrika Selatan berhasil meredam tiga (setidaknya dua yang terbukti) hal yang dianggap sebagai biang minimnya gol tercipta. Tendangan keras Diego Forlan dari luar kotak pinalti menjadi gol Jabulani perdana yang dilesakkan dari jarak jauh. Teror vuvuzela tiga kali lipat setiap kali Afrika Selatan berlaga juga bisa diatasi. Begitu juga dengan iklim, rasanya, yang mulai dihafal oleh peserta. Aklimatisasi sudah mulai berjalan, maka kini kita bisa mengharap pertandingan yang lebih bersemangat dan berwarna. Parameter sahihnya adalah gol yang tercipta. Dengan apa yang dibuka Uruguay kala mengandaskan tuan rumah 3 gol tak berbalas, mari berharap bahwa itu akan menjadi gambaran partai-partai berikut. Termasuk munculnya para pencetak gol yang rakus menabung pundi angka. Seperti Forlan yang menjadi pemain pertama cetak lebih dari 1 gol dalam Piala Dunia kali ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun