[caption id="attachment_144568" align="alignnone" width="500" caption="One Last Shot: Halte Bis Central Station (Foto: Helman Taofani)"][/caption] Hari terakhir adalah bilangan delapan. Artinya hanya delapan jam di Sydney, secara efektif ditambah dengan enam jam di udara Australia-Jakarta, dan dipungkasi dengan beberapa jam untuk benar-benar sampai di rumah. Surabaya dan Aksara. Hangover berjalan selama duabelas blok di malam sebelumnya hampir hilang. Ini adalah hari yang kita sambut dengan antusias, karena siangnya, jam 12, kami sudah harus naik bus menuju bandara. Keriaan pulang, tentu bukan berarti kunjungan 3 hari di Sydney ini tidak ada artinya. Tapi sebagai orangtua baru, tentu saya dan Gina juga sudah memeram rasa kangen yang sangat besar terhadap anak kami di Indonesia, Aksara. Dan satu lagi, rindu kepada spicy food ala negeri kita. Ada slot kosong sekitar 4 jam dari masa efektif kami beredar di hari yang baru. Dari awal, slot ini kami incar untuk berbelanja oleh-oleh yang belum terpenuhi di 3 hari sebelumnya. Kebetulan, di dekat hotel ada sebuah pasar yang bernama Paddy's Market. Ini terletak di dekat Chinatown, belakang George St, sekitar 10 menit berjalan kaki dari hotel. Lokasi ini sudah memberi sugesti seperti apa Paddy's Market, dan kenapa mereka efektif buka lebih pagi. Saya berpikir bahwa dengan lokasi yang dekat dengan kantong imigran, tentu kultur yang dibawa di dalamnya berbeda dengan pasar lainnya. Tebakan yang cukup akurat, lantaran Paddy's Market menurut saya memang kental dengan aura pasar di Asia. Berupa kios-kios non permanen yang menempati beberapa blok dalam bangunan indoor, Paddy's memang lebih mirip bazaar timbang pasar dalam kaidah infrastruktur barat. Untuk format "pasar"-nya orang Australia, di atas Paddy's Market terdapat pusat perbelanjaan, yang dalam terminologi kita dikenal dengan istilah mal. Paddy's adalah demonstrasi kekuatan produk China yang terkenal dengan "penghancur" harganya. Komoditi yang dijual 90% merupakan suvenir khas Australia buatan China. Sepanjang pengamatan 3 hari terakhir, serbuan barang China memang cukup memukul kerajinan asli Australia. Barang yang sama bisa dijual dengan harga 3 kali lipat lebih murah. Hingga akhirnya pemerintah memutuskan untuk melabeli produk made in Aussie dengan tag segitiga hijau-nya. Ini cukup unik, dan membuat diferensiasi segmen pasar yang cukup jelas dengan serbuan produk imigran. Mungkin konsep seperti ini harus mulai digodok pemerintah Indonesia guna mengantisipasi CAFTA. Anyway, itulah soal Paddy's. Tempat kami habiskan sisa AUD untuk banyak sekali ragam. Produk China yang murah, tentu sangat berguna untuk suvenir yang dibeli dalam jumlah massal, yang nantinya dibagikan sebagai tandamata. Sementara produk asli lebih ke kenang-kenangan pribadi yang bisa bercerita. Saya membeli buku cerita tentang Wombat untuk Aksara di bazaar buku yang digelar di atas Paddy's. Meski akhir AUD belum tuntas, kami harus segera beranjak dari Paddy's. Berjalan lagi ke hotel untuk final check sebelum pergi ke bandara KSA a.k.a Botany Bay. Langkah-langkah pungkas di jalanan George St di kala Minggu pagi yang sepi, penuh romansa dari petualangan seru hari sebelumnya. Sekitar pukul 11.30 waktu setempat, kami berangkat ke bandara. Jadwal penerbangan kami adalah pukul 15.30, dan saya pikir prosedural imigrasi cukup aman apabila dilalui dengan cukup waktu. Ternyata, untuk keluar tak serumit ketika masuk. Hasilnya, pukul 12.30 kami sudah aman di bandara, berkeliaran di Duty Free dan sekitarnya. Di sini, opsi kedua untuk membeli oleh-oleh juga kembali hadir, meski dengan harga yang tentunya lebih mahal ketimbang Paddy's Market. Ada toko suvenir asli Australia, yang seluruh barangnya mengandung tag segitiga hijau. Atau hasil wol Merino yang lebih bisa dipertanggungjawabkan status keasliannya. Bandara KSA Sydney adalah tempat yang cukup oke untuk berbelanja. Saya sendiri hanya menyempatkan untuk menyambar satu buah buku tentang destinasi berikut dari travel tahunan ini. Sebuah kota di selatan Eropa. Pukul 15.30, boarding yang dinanti akhirnya dibuka. Saya tak akan banyak bercerita mengenai penerbangan, karena apa yang saya nikmati sudah saya jabarkan di notes sebelum ini. Yang jelas, penerbangan selama 7 jam (sejam lebih lama daripada rute sebaliknya) ditempuh, sehingga sekitar pukul 20.00 WIB kami tiba di tanah air. Sambil menunggu penerbangan lanjutan ke Surabaya, kami melampiaskan hasrat masakan berbumbu di sebuah restoran Padang. Wah, sudah berasa rumah kembali! Namun, rumah yang sebenarnya adalah jarak 3 jam kemudian. Adalah anak kami yang tengah pulas tertidur menjadi reminder destinasi akhir dari perjalanan kali ini. Mungkin perjalanan berikut adalah rute yang harus kami lalui bertiga, atau berempat, berlima. Ah, itu nanti saja. Untuk saat ini, home sweet home...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H