Mohon tunggu...
Mohammad Helman Taofani
Mohammad Helman Taofani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

1982 born, happily married... A devout Pearl Jam fans, love to read, listening to music and watching movies. Write occasionally through my online journal. An avid fan of Italian Football. Going to travel sometime. Willing to travel all around the world. Would like to see the world before I die. Considering to live in another country. Obsessed to master at least five different (international) languange. A proud father of Aksara Asa-Madani.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Multiwarna - Travelog Sydney (12)

5 April 2010   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:59 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari kedua di Sydney hendak diakhiri dengan agenda makan malam. Mengacu pada catatan kuliner di bagian ketujuh travelog ini, maka mencari kuliner Asia adalah safe bet. Di hotel (Mercure George St) ada makanan fusion, yang dipungkasi dengan satu kesimpulan dari Gina: tidak enak! Alhasil kami hanya bersantap roti bakar dan selai marmalade sebagai bekal arungi itinerari hari kedua.

Untuk makan siang, pihak Moonshadow Cruise di Port Stephens sudah berbaik hati dengan menyediakan nasi dan makanan halal sebagai menu pelayaran. Tapi nasi di sini bukan seperti nasi yang kita makan, rasanya. Keras dan jauh dari pulen atau wangi. Mungkin kentanglah satu-satunya stok karbohidrat yang benar-benar enak di Australia. Bahkan keripik kentang yang dijual kemasan juga sangat enak.

Anyway, kembali ke kuliner Asia, kebetulan hotel kami terletak tak jauh dari sentra imigran Asia terbesar se-Australia, yakni chinese quarter di Haymarket. Ada banyak pilihan kuliner di sana, yang dekat dengan citarasa Asia, dan dalam perjalanan ke sana sekalipun beberapa kali kami memapas restoran-restoran Vietnam. Tujuan kami adalah ke "pasar malam" Chinatown di dekat Sydney Entertainment Center yang diadakan setiap Jumat malam. Konon hanya diadakan bila tidak hujan. Namun, meski kala itu sedikit gerimis, keriaan pasar itu tetap ada, dengan pengunjung hampir 90% bukan ras kaukasia, melainkan mongoloid.

Tampak jelas visualisasi dari apa yang disebut "chinese quarter" yang menunjukkan bahwa Australia adalah salah satu negara destinasi imigrasi di dunia, terutama dari negeri tirai bambu. Kesan itu diperkuat dengan simbol gapura khas Cina yang menjadi signature chinatown di seluruh belahan dunia. Sejak era koloni awal, imigrasi memang sudah didominasi ras mongoloid yang membanjiri antrian. Orang China adalah imigran pertama yang datang ke Australia menyusul goldrush yang melanda benua ini, sekitar pertengahan abad ke-19.

Daerah downtown Sydney juga rasanya sangat multikultur. Kebanyakan toko dipunya oleh imigran, apalagi bila sudah mendekati chinese quarter. Di jalan, juga pemandangan normal bila berpapasan dengan rombongan pejalan yang terdiri dari satu etnis. Paling jamak terlihat memang dari Asia, entah itu Cina atau India. Mereka relatif distingtif dibanding dengan Kaukasia, yang sebetulnya banyak juga mengirimkan wakil imigrannya. Pemukim pertama di Bondi juga keturunan Israel dan Brasil. Negara Balkan dan Yunani punya lumayan banyak keturunan di Australia. Sopir bis yang kami tumpangi ke Port Stephens bernama Ratko, dan selidik punya selidik, ternyata dia baru datang ke Sydney tahun 2006 dari Kroasia.

Bagaimana dengan Indonesia? Setidaknya dua kali saya berbicara langsung dengan bahasa Indonesia. Yang pertama dengan ibu-ibu pemilik kedai es krim di Bondi, yang bersama anaknya ternyata datang dari Jakarta sekitar tiga tahun sebelumnya. Lalu seorang pramusaji di restoran Sydney Tower juga ternyata mahasiswi Indonesia yang nyambi bekerja. Dan entah berapa kali kami berpapasan di jalan dengan orang yang kami "suspect" sebagai kompatriot. Wakil dari negara kita lumayan banyak di Sydney, meski konon tak sebanyak di Melbourne yang menjadi destinasi pelajar Indonesia.

Impresi akhir dari hari kedua adalah melihat kemajemukan. Aroma multikultural memang kental di pusat kota Sydney. Warga "asli" yang notabene merupakan keturunan Inggris Raya memang lebih banyak tinggal di suburban. Ini adalah tonal lazim dari sebuah metropolitan, di seluruh dunia, yang menjadi palet warna dari berbagai ras, negara dan juga keyakinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun