Beberapa waktu lampau, aku pernah kagum pada tokoh public yang terkenal dengan suaranya yang lembut dan menyajikan cerita begitu mudah diterima oleh masyarakat. Tidak perlu bernada tinggi dan berapi-api namun pesan-pesan yang dulu pernah ia sampaikan terasa begitu sejuk di hati.
Kemudian, dalam suatu tayangan lain. Ia mulai menjelma menjadi sesuatu yang saat itu akupun tidak tahu. Aku masih ingat jelas di tayangan itu ia bercerita tentang mengapa ia memilih untuk beristri lagi karena sang Istri yang telah menemani dan memberikan ia tujuh anak itu telah "turun mesin". Aku yang saat itu masih belum mengerti apa-apa saja merasa naik pitam.
Tidak lama berita itu berhembus Kembali beriringan dengan kasus diduga perseteruan tokoh ini dengan sang anak. Tentu saja reaksi netijen pun menjadi-jadi.
Ketika Beban Reproduksi hanya diberikan kepada perempuan
Perempuan dihadapkan banyak sekali stigma dan label. Ketika ia tidak bisa melahirkan keturunan, rahimnya diserang "Perempuan Mandul", "Belum sempurna menjadi perempuan". Ketika ia bisa memberikan keturunan pun pilihan normal dan cesar tetap akan dipergunjingkan.
Ketika ia mengalami keguguran, perempuan dianggap gagal menjaga diri dan bayi. Bahkan Ketika ia telah memberikan keturunan, rahimnya akan dilabeli "turun mesin" dan dijadikan alasan untuk mencari "mesin-mesin reproduksi lainnya".
Re = mengulang /Produksi = membuat / Reproduksi = membuat ulang. Tujuan bereproduksi selain melanjutkan keturunan tentu saja ada "beban-beban dan harapan". Sayangnya, stigma-stigma ini dilekatkan pada perempuan lajang maupun yang telah menikah.
"Rahim perempuan itu baik-baik saja, hingga benda asing ditanamkan ditubuhnya", aku teringat ketika mengikuti sebuah pelatihan oleh Ibu Lies Marcus tentang Kesehatan Seksual dan Reproduksi.
Ia pun mengambil kata Rahim sebagai salah satu nama kebesaran yang Maha Kuasa Ar Rahim Yang Maha Penyayang. Begitu Tuhan memuliakan perempuan.Â
Namun, apa yang terjadi? Tubuh perempuan sering kali dianggap sebagai sebuah objek, sedihnya bahkan reproduksinya dianggap sebuah mesin yang memiliki "expired dan bisa rusak"
Dilansir dari Health Kompas ada lebih dari sepuluh jenis metode kontrasepsi perempuan: PIL KB, Suntik, Susuk KB/Implan, Intra uterine system (IUS), kondom, Intra uterine device (IUD), Metode sederhana atau vaginal, Tubektomi, Sistem KB Kalender.Â
Sedangkan laki-laki hanya memiliki dua jenis metode Kondom dan Vasektomi itupun sangat berat dilakukan. Ada yang beranggapan bahwa sensasi menggunakan kondom berbeda, ada juga kalau sudah steril suami bisa jajan di mana saja tanpa ketauan.
Secara global terdapat 44% atau 62 kehamilan yang tidak diinginkan per 1000 wanita berusia 15-44 tahun. Sedangkan di daerah berkembang, kehamilan yang tidak diinginkan yaitu 65 per 1000 wanita berusia 15-44 tahun di tahun 2010--2014.
Secara rata-rata nasional 17,5 persen kehamilan yang tidak dikehendaki. Artinya setiap 100 orang hamil maka yang tidak sengaja hamilnya adalah ada 17 orang. Angka terbilang cukup tinggi
Di seluruh dunia, 56% (dari semua kehamilan yang tidak diinginkan) berakhir dengan aborsi pada tahun 2010-2014 (Bearaket al, 2018).Â
Minimnya fasilitas dan edukasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi bertambah buruk dengan pemiskinan struktural.Â
Perempuan akan mengakses "layanan alternatif" baik dengan dukun, mengkonsumsi jamu-jamuan, yang bisa membahayakan ibu dan bayi. Sedangkan aborsi yang diatur dalam Undang-Undang hanya mengcover Kehamilan tidak diinginkan karena Perkosaan.
Tentu saja perdebatan aborsi ini sangat alot terkait nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, ada yang pro-choice dan pro-life, namun dalam keadaan masyarakat yang semakin termarjinalkan "They have no choice".
Dari Penampilan Hingga Reproduksi, Sampai Kapan Tubuh Perempuan DikontrolÂ
"Kamu tuh ya kalau pake baju yang bener", "Ngapain sih joget-joget mulu, pantes aja dapet komen melecehkan toh kamu yang ngundang", "Wajar sih dia dilecehkan orang suka pulang malam". "Dah nikah bertahun-tahun belum juga ada anak". Ternyata dari pakaian hingga reproduksi perempuan selalu kehilangan otonom atas tubuhnya.
Orang lain merasa berhak untuk mengomentari bahkan mengontrol tubuh perempuan. Ada juga beranggapan setelah menikah perempuan menjadi milik suami seutuhnya, tentu saja termasuk pilihan alat kontrasepsi, berapa jumlah anak, dan sepaket stigma di dalamnya.
Ada juga yang beranggapan bahwa Tubuh ini adalah Milik Tuhan, kita hanya dititipkan. Tentu saja tidak salah karena terkait iman masing-masing.Â
Jika kita mengimani ini sebenarnya sangat indah sekali artinya kita harus menghormati dan menghargai tubuh orang lain bukan semena-mena dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal kita melanggengkan pelecehan, loh emang anda ada hak dari mana melecehkan dan mengontrol tubuh orang lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H