Mohon tunggu...
Hellobondy
Hellobondy Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer, Blogger, and Announcer

A perpetual learner from other perspectives. Find me on IG : nindy.hellobondy Blog : Hellobondy.com

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Suara Hati Istri Zahra - Mimpi Buruk Anak Indonesia

8 Juni 2021   12:56 Diperbarui: 8 Juni 2021   13:07 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih hangat di ingatan, bagaimana seorang anak 15 tahun anak seorang buruh tani dipaksa menikah dan harus menjadi istri ketiga dari Pak Tirta, dikisahkan juga bagaiamana karakter istri pertama Ratu (Si Egois), Putri Istri Kedua (Si Bermuka Dua), Zahra istri ketiga (Si polos). Lalu tidak dituliskan karakter pemeran laki-laki si Pak Tirta.

Mari kita Analisa karakter Pak Tirta (Si Manipulatif) Sebagai seorang saudagar kaya ia memberikan bantuan pengobatan untuk ayah Zahra yang sakit, namun itu semua hanya alasan agar ia bisa memiliki Zahra. Di beberapa adegan yang tidak pantas ditayangkan bagaiamana dialog-dialog "mesra" yang membuat beberapa orang menjadi "baper".

Bayangkan Ketika Zahra Menangis di atas ranjang, sedangkan Pak Tirta datang mendekat kemudian mendekatkan pipinya untuk mengajak berhubungan intim, adegan memegang perut dan kecup kening yang dilakukan oleh anak 15 tahun.

Tidak cukup dengan dua istri, Pak Tirta pun ingin menguasai seorang anak yang bahkan dalam Undang-Undang Pernikahan harus mencapai minimal 19 tahun, Indonesia berjuang agar angka pernikahan anak berkurang dengan menaikan usia menimal menikah dari 16 tahun ke 19 tahun baik untuk perempuan dan laki-laki.

Belum lagi promosi yang mengundang rasa penasaran kita di kanal Youtube  contohnya: "Viral Malam Pertama Zahra dan Pak Tirta Adegan Ranjang Suara Hati Istri"

"Loh tapi kan, kita ada pilihan melihat apa yang mau kita tonton atau ikuti" Iya benar sekali, tapi kendali itu aku rasa hanya untuk orang-orang yang memiliki privileged dan terpapar informasi dan edukasi yang tepat. Sisanya, banyak termakan info WAG (Whatssap Grup), klik bait atau hanya baca judul saja, akhirnya banyak masyarakat yang tidak memiliki pilihan.

Contohnya adalah di desa tempat saya mendampingi kelompok perempuan muda, aku ingat betul bagaimana satu demi satu dari mereka melepas masa lajang dengan tersipu malu mereka menjawab "Biar, bobo ada yang dikelonin", ia selintas kita akan tersenyum-senyum mendengarnya. Namun dibalik itu ada lingkaran setan yang membelenggu.

Anak-anak semakin sempit merasakan aman, di sekolah ia harus dihadapakan dengan bully ataupun kekerasan dari guru, di ruang bermain ia dihantui oleh kejahatan, bahkan dalam rumah pun anak bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bahkan kekerasan seksual, tidak sedikit kita mendengar Ayah memperkosa anak, paman mencabuli ponakan. Lalu di mana anak bisa merasakan aman bahkan benteng pertahanan terakhir pun tidak terlepas dari kekerasan.

Ditambah lagi pernikahan anak, haknya direnggut, tidak ada lagi bermain dan bergaul bersama teman-teman, dalam usia belia ia sudah harus bertanggung jawab mengurus domestik, melayani suami, dan tentu saja ia akan mengalami kekerasan berulang, wajarlah sintron ini bisa menjadi mimpi buruk anak Indonesia. 

Berbicara data ibu berusia di bawah 20 tahun memiliki kemungkinan kematian dalam 28 hari pertama, hampir dua kali lebih berisiko dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-29 tahun. Bayi yang lahir ini pun dihadapkan pada risiko stunting, malnutrisi, dan risiko kesehatan lainnya.  Sementara itu, sebanayak 1 dari 9 (BPS, 2020) anak perempuan terancam dikawinkan dan kehilangan masa depan mereka. Sebanyak 64.211 anak pada tahun 2020 terancam kehilangan kesempatan mereka untuk menyelesaikan pendidikan karena perkawinan anak, dan sebagai konsekuensinya mereka terancam terjebak kemiskinan di masa depan.

Akses Pendidikan yang minim, angka kematian ibu yang tinggi, akses Kesehatan yang tidak mencukupi, lapangan pekerjaan semakin sempit, ruang gerak semakin dibatasi, lahan semakin diambil alih, kemudian mereka tidak banyak pilihan selain melihat apa yang viral dan terlintas di sosial media. " Ohh... artis itu aja nikah muda, ohhh Si A aja punya anak banyak keknya baik-baik aja" "Memangnya kenapa sih kalau suka sama Om-Om".

Perjalanan panjang megedukasi terkait Kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia masih sangat panjang, menyalahkan korban, tabu mengajarkan terkait seks dan seksulaitas pada anak, menikahkan anak agar terlepas dari beban keluarga, KDRT, KDP, masih banyak sekali PR kita. Tentu saja setiap dari kita mengambil peran. Media dengan pemberitaan yang tidak menyalahkan korban, glorifikasi kekerasan, pembuat konten membuat konten-konten yang edukatif dan inspiratif, negara mendorong pemulihan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun