Mohon tunggu...
Hellobondy
Hellobondy Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer, Blogger, and Announcer

A perpetual learner from other perspectives. Find me on IG : nindy.hellobondy Blog : Hellobondy.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudah Amankah Anak Kita dari Predator Seksual?

24 Juli 2020   22:44 Diperbarui: 24 Juli 2020   22:41 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Trigger Warning): Tulisan mengandung beberapa cuplikan cerita dan pemberitaan korban

Membuka Luka Anak Indonesia

Usianya sekitar 10 tahun, saat itu ia tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Tiba-tiba saja berita menyebar begitu hebat, rumahnya dipenuhi oleh wartawan, identitasnya di mana-mana. Semenjak itu ia tidak muncul lagi di sekolah.

Usiaku saat itu mungkin sekitar 11 tahunan, aku tidak teringat jelas hanya saja bayangan itu masih terus mengikuti. Untuk pertama kalinya sekolah kami heboh bukan karena prestasi tapi oleh sebuah tragedi. Itulah tragedy  kekerasan seksual yang pertama kali aku ketahui.

Tubuh mungilnya masih teringat jelas, ia bukan anak yang cukup familiar. Rasa penasaran membuatku tidak jajan hari itu dan membeli sebuah koran yang ia menjadi headline depan. Ku membaca dengan seksama.

Tragedi itu terjadi di gudang  belakang sekolah, seorang guru olahraga memasukan tanganya ke kemaluan gadis kecil itu. Tidak lama ada kabar berhembus dia pun menjadi korban dari tukang becak di pasar dekat sekolah. Mereka melakukan hal yang sama. Bejat sungguh bejat!.

Tapi aku hanya anak kecil yang tidak tahu apa dampaknya. Kabar terbaru saat itu, anak itu pindah sekolah dan pelaku memberikan "uang damai" sejumlah 3 juta. Aku menyahut "Wah,enak dapet duit", namun seketika temanku marah dan menjawab "Uang sebanyak apapun tidak bisa mengobati gadis itu". Aku diam dan bertanya-tanya "Mengapa?".

Kejadian itu sudah terjadi belasan tahun lamanya, namun memori itu masih melekat. Tidak bisa aku bayangkan bagaimana perjuangan anak itu, luka apa yang terus mengikuti sepanjang hidupnya.

Waktu terus berganti, Kekerasan seksual masih saja terjadi 

Tadi pagi tepat hari ini, seperti biasa  menemani mama menonton TV sembari menghirup kopi. Tiba-tiba kopi itu semakin pahit ketika melihat pemberitaan Seorang Anak Dicabuli Teman Ayahnya Sejak 2018 Silam Kasus Terungkap Saat Mengeluh Sakit dengan Ibu.

"Korban yang masih duduk kelas 6 sekolah dasar ini sudah digauli pelaku sejak 2018 silam.Kasus ini baru terbongkar saat korban bercerita kepada ibunya, mengeluh kesakitan saat buang air kecil." (Sumber sripoku.com)

Aku kehabisan kata-kata, begitu banyaknya manusia bejat di bumi ini. Apa ia juga akan mendapat stigma karena ia tidak memakai pakaian tertutup?, karena ia bermain di luar? Karena ia dan lain-lain?. Belum lagi di masyarakat, korban kekerasan dianggap aib dan sudah "kotor".

Korban ditangkap, proses hukum berlaku. Lalu bagaimana nasib korban? Bagaimana ia menjalani hari-harinya, bagaimana ia mengobati luka batinya? Bagaimana keluarganya?, bagaimana masyarakat bisa mendukungnya?. Jawaban ini tidak pasti.

Kami tidak lupa: Nyala Untuk Yuyun, mati diperkosa 14 lelaki

Kami tidak lupa: kasus Enno, pemerkosaan dengan gagang cangkul sampai mati

Kami tidak lupa : Pemerkosaan anak SMP di Gresik dan pemaksaan aborsi oleh keluarga pelaku.

Kami tidak lupa kasus pemerkosaan oleh sepupu dan mertua di Denpasar Selatan.

Kami tidak lupa seorang anak SMA diperkosa bergantian lalu dibunuh di Kalimantan Selatan

Kejadian pemerkosaan, pembunuhan dan perampasan yang dilakukan lima pelaku terhadap seorang korban yang masih duduk di bangku SMA berawal dari mabuk-mabukkan.Mereka lantas masuk ke kamar Fit dengan cara dibekap, lantas diperkosa secara bergantian. Puas menodai kehormatan korban, salah satu pelaku lantas mencekik hingga tewas. Mereka juga mengambil beberapa ponsel, laptop dan barang-barang berharga lainnya.(m.merdeka.com)

Oh, tidak lupa bagaiamana juga peran media memframing berita-berita ini. Tidak heran korban yang selalu dicari, disalahkan, malah beberapa media menampilakan identitas korban. Bagaiamana dengan pelaku? Jarang sekali terekspos.  Di sisi lain, banyak dari korban bahkan tidak bisa menuntut keadilan di dunia, kalaupun ia bisa menuntut di dunia ini, akan menjadi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Belum lagi trauma hebat yang mereka alami. Belum biaya yang Nampak dan tidak Nampak.

Rumah yang seharusnya tempat aman , Malah jadi ancaman 

Angka kekerasan anak pun makin meningkat selama pandemic ini hingga mencapai 3000 kasus menurut KEMENPPA.  Sejak 1 Januari hingga 19 Juni 2020. Diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual.

Kita tidak lupa kasus yang terjadi di rumah aman Lampung oleh Oknum P2TP2A, Rumah yang harusnya menjadi perlindungan anak malah sebuah ancaman. Namun, bagaiaman dengan rumah kita sendiri? Sudahkah rumah kita menjadi tempat berlindung yang aman untuk anak-anak kita? Ataukah menjadi sarang kekerasan?.  Di dalam kasus KDRT pun, bukan hanya orang tua menjadi pelaku dan korban, anakpun menjadi korban, prilaku ini bisa berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak.

Kasus kekerasan ini seperti fenomena gunung es, apa yang tidak Nampak lebih besar dari permukaan. Lalu, kita  bisa apa?. Mengurung anak di rumah saja?, melarang ia menggunakan gawai?. Di sisi lain edukasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi masih tabu.  Jangankan memberitahu anak, orang tua pun masih menggangap edukasi ini adalah mengajarkan anak-anak berhubungan sex. Padahal jelas tentu berbeda.

Jika kita masih malu dan  tabu maka belajarlah. Bisa juga dengan memberikan video edukatif bagian tubuh mana saja yang bisa disentuh aman dan tidak, siapa saja yang boleh menyentuh tubuh mereka. Mengenalkan alat reproduksi dan fungsinya, tidak itu bukan porno. Itu bagian dari biologi, itu bagian dari pengenalan tubuh kita. Jangan sampai anak-anak mencari tahu sendiri dengan bertanya pada teman-temanya atau mencari sumber yang tidak kredibel.

Lalu, apa yang harus dilakukan jika ada anak menjadi korban kekerasan?

Siapapun rasanya tidak akan mau jika anak, keluarga, saudara, tetangga, teman kita menjadi korban. Namun, jika kamu menemui kasus ini beberapa langkah ini bisa sangat membantu :

  • Redamlah emosi sesaat, dengarkan ceritanya. Jangan memarahi atau menyalahkan anak
  • Lihat kebutuhan anak, apakah ia membutuhkan bantuan medis, psikolog, atau hukum
  • Mintalah bantuan professional untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya baik Lembaga yang concern melindungi anak, dokter, psikolog, pengacara.
  • Kuatkan diri anda, atau lingkaran di sekitar anak. Karena support system berpengaruh besar untuk anak
  • Dukung pemulihan anak, dukung keluarganya, ciptakan suasana aman di sekitar anak

Semoga di hari anak ini, kita menyadari banyak permasalahan kompleks yang akan dihadapi anak-anak. Tidak hanya masalah nilai sekolah, mencapai cita-cita, namun juga bagaimana anak-anak bisa tumbuh dengan skill yang mumpuni dan pemahaman untuk bisa menghormati sesama. Selamat Hari Anak Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun