Sebagai penikmat film, saya selalu suka dengan film-film yang memberikan pandangan baru, ataupun  prespektif yang selama ini sering terabaikan. Salah satu diantaranya yakni film Istirahatlah kata-kata, yang bercerita tentang sosok  sastrawan dan aktivis buruh yakni Wiji Thukul.
Pertama kali saya mendengar namanya ketika saya masih kuliah, saya suka membuat puisi dan saat itu salah satu teman saya memberikan masukan untuk membaca karya dari Widji Thukul, saya pun penasaran siapa Widji ini?
Film biografi ini memvisualisasikan siapa sosok Wiji Thukul  yang diperankan oleh (Gunawan Maryanto) dan bagaimana perjuanganya di masa Orde Baru. Saat pecah kerusuhan di Jakarta bulan Juli 1996, Wiji Thukul dan beberapa aktivis pro-demokrasi ditetapkan sebagai tersangka pemicu kerusuhan.
 Ia  menjadi salah satu DPO dan melarikan diri ke kota Pontianak. Selama hampir 8 bulan ia di Pontianak dan berpindah-pindah rumah, ia pun sempat tinggal bersama dengan orang-orang yang baru  bahkan sama sekali belum dia kenal, seperti rumah dari seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) dan aktivis asal Medan, Martin (Eduwart Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya, Ida (Melanie Subono).
Sementara itu Sipon (Marissa Anita), istri Wiji Thukul harus hidup bersama dua anaknya di Solo. Mereka hidup di bawah tekanan, diawasi polisi, dan koleksi-koleksi buku Wiji pun harus di sita.
Film ini menggambarkan bagaimana situasi rezim saat itu, tidak ada kebebasan untuk bersuara, bahkan menulis pun dianggap sebagai ancaman. Apalagi kehidupan seorang aktivis yang setiap ruang geraknya diawasi.
Sedih dan haru menjadi satu, beberapa kali air mata saya sempat jatuh di pipi dan merinding membayangkan situasi saat itu.
Walaupun di dalam pelariannya, Wiji tak pernah berhenti menulis. Ia pun harus berganti nama untuk melindungi identitas dirinya.
Istirahatlah kata-kata
Janganlah menyembur-nyembur
Orang-orang bisu.
Tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
Â
Ia hilang tak pernah kembali, sebelum Soeharto diturunkan oleh rakyatnya sendiri. Tapi semangatnya tak pernah mati, karyanya akan selalu abadi.
Salah satu puisinya yang menurutku memiliki makna mendalam yakni :
Di bawah selimut kedamaian palsu
apa gunanya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli
apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
dengan kaum cukong
di desa-desa
rakyat dipaksa
menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah
apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
Saat puisi ini dibacakan dalam adegan film, seketika rasanya aku tertampar. Seringkali aku merasa ketakutan untuk menyampaikan pendapatku, aku selalu merasa takut salah. Selain itu ada kata-kata pamungkas dari Wiji yakni "Jangan kau penjarakan ucapanmu, jika kau mengamba pada Ketakutan, kita akan memperpanjang barisan perbudakan".
.