Mohon tunggu...
Hellen Nur Qolbi
Hellen Nur Qolbi Mohon Tunggu... lainnya -

orang gak penting yang lagi belajar menulis tanpa ditunggangi kepentingan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hari Kartini

21 April 2013   03:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:52 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh istimewa perempuan Indonesia ini. Dengan kegiatan surat menyurat dan curcol kepada teman belandanya, beliau sekarang dianggap sebagai tokoh emansipasi Indonesia. Hari kelahirannya selalu dirayakan setiap tahunnya oleh segenap masyarakat Indonesia (walaupun tanpa kue tart dan lilin).
Hingga saat ini, saya tidak bisa mengerti kenapa hari kelahiran Kartini diperingati tiap tahunnya. Mungkin karena dimasa sekarang, saya dan hampir kebanyakan perempuan Indonesia tidak merasakan susahnya menjadi perempuan. Saya tidak tau persis kapan kemudahan-kemudahan ini ada, apakah sejak zaman setelah Kartini atau memang sejak dulunya?
Jika saat ini masih ada pembatasan terhadap hak perempuan (sesuai kodratnya) maka saya merasa sangat beruntung terlahir dari keluarga muslim dan minang karena dalam lingkungan saya, perempuan tidak dianggap lebih rendah dari kaum Adam tapi juga tidak ditinggikan, semua berjalan sesuai kodratnya.
Kembali lagi pada pertanyaan kenapa hari lahir Kartini diperingati tiap tahunnya? Apakah disebabkan Kartini perempuan pertama kali yang memperjuangkan hak perempuan atau ada sebab lain? Jauh sebelum Kartini, perempuan-perempuan Aceh sudah memperlihatkan bahwa perempuan tidak hanya punya tempat di dapur, sumur, dan kasur. Jadi panglima dalam armada perang melawan Portugis seperti Laksamana Malahayati, atau pemimpin perang seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dst, menunjukkan bahwa perempuan Aceh telah berbuat nyata lebih dari sekedar berkirim surat. Atau tokoh sezaman dengan Kartini, Rohana Kudus, perempuan Minang yang tidak mengenyam pendidikan formal tapi mampu berbuat nyata - mendirikan sekolah keterampilan untuk perempuan, mendirikan Rohana School, jurnalis perempuan pertama dan pebisnis - lebih dari sekedar curhat kepada teman Belandanya. Selain perempuan-perempuan di atas, masih banyak lagi perempuan lain dari berbagai belahan nusantara ini seperti Christina Martha Tiahahu, Siti Aisyah We Tenriolle, Dewi Sartika, Rahmah El Yunusiah, dan banyak lagi tokoh perempuan yang mungkin kita belum pernah dengar.
Bukan karena saya Minang, lantas saya menggugat Kartini dan ogah memperingati hari Kartini. Apakah perbuatan nyata kurang "greget" dibanding sekedar berkirim surat? Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap "ketokohan" beliau, di hari lahirnya ini, saya tidak merasa lebih malang jika Kartini tidak lahir. ;)

Akhir kata, tuk yang sedang memperjuangkan hak perempuan alias emansisapi eh emansipasi, ada baiknya ini jadi renungan:
"Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan" (Rohana Kudus)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun