Di sebuah gang kecil, gelap, dan hening. Hanya suara hujan yang singgah di atas genteng sebelum menggenang di selokan. Malam itu tidak berbeda dari malam-malam sebelumnya.Â
Tiga anak yang bertahun-tahun tidak merasakan kehadiran seorang hawa berdempet-dempetan untuk mendapatkan kehangatan di bawah selembar kain tipis.Â
Serangga-serangga penghisap darah itu tidak peduli tubuh yang digigitnya sedang menginginkan jumlah darah yang cukup agar tidak merasa kedinginan.
Farzan anak pertama, masih berusia dua belas tahun. Sebentar lagi ia akan menggantikan masa putih merahnya menjadi putih biru.Â
Di sampingnya, seorang anak berumur tujuh tahun melipat tubuhnya di antara dua saudara laki-lakinya. Ia bernama Bena, masih tertinggal di kelas satu karena tidak dapat menyelesaikan ujian akhirnya dengan baik di tahun sebelumnya.Â
Namun, kabarnya ia dapat menyelesaikan ujiannya di minggu terakhir dengan baik. Meskipun diragukan ia akan naik kelas atau menjadi murid tertua di kelas yang sama. Anak laki-laki yang paling muda di antara ketiganya melingkarkan tangannya pada tubuh Bena.Â
Dua bulan lagi, usianya genap lima tahun. Anak yang sering menangis, sudah tidak terhitung malam-malam yang dilaluinya tanpa mengeluhkan giginya yang rapuh dan berlubang. Pernah suatu hari, semua orang di dalam rumah tidak dapat tertidur karena isak tangisnya yang tak kunjung reda.Â
Ketiga saudara yang lelah menghabisnya energinya berlarian sepanjang hari tampak tertidur pulas. Kemiskinan materi tidak membuat mereka kehilangan cara untuk bersukacita, cara tidurnya cukup menunjukkan bagaimana mereka menikmati kedekatan satu dengan yang lain. Masih terlalu muda tetapi sudah mampu menjaga satu sama lain.
Di teras rumah, laki-laki dewasa mengisap sebatang kretek dalam-dalam. Ia secara perlahan menghembuskan ke udara, tiada hari tanpa merusak paru-paru.Â
Ada banyak hal yang menggantung dipikirannya, baginya satu-satunya cara meredakan kesesakan pikiran dan kebuntuan sebuah langkah dengan menikmati kretek sepanjang hari.Â
Tidak ada yang mengetahui perkara yang ada di dalam batok kepalanya. Barang kali, ia sedang mencari cara untuk mendapatkan sebatang kretek di esok hari atau ia sedang menyesali keputusan-keputusan di dalam hidupnya yang terlalu terburu-buru.Â
Ia termenung sepanjang malam, orang-orang terlelap di dalam tidur yang panjang karena udara dingin yang merasuki setiap kamar-kamar di bawah daun rumbian.
Pagi itu, rumah yang bertahun-tahun tanpa kehadiran hawa disesaki dengan suara ibu-ibu. Ada yang terisak, ada yang berteriak, ada yang tampak pucat, ada yang meneteskan air mata, dan ada yang menepuk-nepuk dadanya.Â
Tidak diketahui penyebab perilaku orang-orang itu. Hingga aku mendekat dan menyaksikan, darah yang membeku di tanah, sebilah pisau tergeletak di tanah.Â
Di sisi seorang anak. Apa pun yang terjadi saat itu, bukanlah mimpi buruk. Ini adalah realitanya. Pria yang semalaman dipenuhi dengan potongan-potongan keputusasaan sudah bertekad untuk menyakiti jiwa-jiwa lainnya. Ia yang semalaman menghirup udara dingin telah dirasuki perasaan yang dingin.Â
Ia sendiri ditemukan berdarah. Ia gagal menusukkan pisau ke dalam ulu hatinya. Nadinya belum sempat terputus untuk meminta pertanggungjawabn atas pilihannya yang biadab. Anak itu tergeletak tak berdaya, ia ditusuk bahkan tampak dimutilasi menjadi 3 bagian.Â
Segenap masyarakat berkabung, tangisan dan teriakan itu menggetarkan bulu kuduk setiap orang yang melintasi jalan raya. Perkara siapa yang memperbuat perilaku itu segera dilaporkan ke pihak berwajib.
Jepret, jepret keterangan sebab musabab tidak dapat diterima dengan logika. Masyarakat memperbedatkan siapa yang akan menjaga 2 anak lainnya. Tanpa ibu, tanpa ayah, di usia muda, nahas. Bagi orang-orang, kasihan nasib si anak yang sudah merenggang nyawa. Gara-gara ayah yang tidak berpikir dengan jernih. Ia kehilangan istri mungkin juga karena perbuatannya yang tidak bertanggung jawab penuh pada pemenuhan kebutuhan keluarga.
Aku berdiri menjauhkan diri dari hipotesis masyarakat yang senang membuat rumusan masalah penelitian tanpa pernah membuktikan hipotesis yang dibuat di atas kepalanya.Â
Aku menghubungi seorang kerabat untuk melanjutkan hidup, "Halo, ya. Bagaimana Pak? Apakah saya diterima bekerja?" Dari seberang terdengar penolakan yang membuat aku mencari siapa yang akan mendengarkan ceritaku. Aku terdiam untuk beberapa waktu, mengurung diri di dalam kamar, aku sedang memikirkan cara untuk keluar dari kemiskinan. Aku bergelut dengan kebutuhan harian yang tidak terpenuhi.Â
Hal lainnya adalah tuntutan keluarga dan masyarakat terhadap kelangsungan hidupku ke depan. Ingin sekali aku menggantungkan leher pada kain putih untuk mengatakan selesai, tetapi aku memilih keputusan yang berbeda seperti pria itu. Aku keluar dari rumah, membawa segenap kemampuan yang saya miliki untuk mendaftar jadi orang yang tidak mati sia-sia. Mungkin ini jauh lebih baik dari dia, tapi sesungguhnya aku adalah yang paling jahat karena tidak menjadi pendengar yang baik untuk orang malang itu.
Tuduhan-tuduhan bejat masyarakat itu belum terbukti. Si Pria menjalani rehabilitasi untuk masalah gangguan mental. Anak-anak itu putus sekolah. Kemana Ibunya? Tidak satu pun yang mencari tahu termasuk aku.Â
Apakah kemiskinan itu sistemik yang berganti kepemilikannya? Sampai saat ini, ia berkeliaran memburu jiwa-jiwa lain dalam bentuk yang berbeda-beda. Ia tidak akan mengikat para pekerja keras dan para pemikir keras, tetapi ia dapat singgah kapan pun dalam lamunan yang tidak terkontrol untuk menguasai dan mendudukan kerajaannya dalam wujud kriminalitas yang disucikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H