Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biskuit Rasa Krim Coklat

16 Juli 2020   16:00 Diperbarui: 16 Juli 2020   16:00 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru pagi sekali Dini sudah merajuk. Ia memoncongkan bibir 2 cm lebih menonjol dari batang hidungnya. Aku sudah berkali-kali memperingatkan Dini untuk berhenti melakukan hal seperti itu di pagi hari. Kata sesepuh hal itu mendatangkan kesialan di sepanjang hari. 

Namun, saya merasakan perbedaan yang tidak sesuai dengan petuah sesepuh. Justru Dini terlihat sangat semangat setelah pukul 10 pagi. Aku membiarkan ia sendiri di sofa. Mulutnya yang spontan di pagi hari lama-lama membuatku terbiasa.

"Zakara"

"Iya..."

"Makanan di kulkas habis..."

"Iya..."

"Bukan pertanyaan Sentara"

"Iya..."

"Kamu di mana"

"Iya..."

"Pikun ya?"

"Iya..."

Dini menggeleng-gelengkan kepala pantas saja bila semua pertanyaannya dijawab iya oleh Kokora. Laki-laki yang tidak pernah memiliki identitas yang pasti dimulut Dini. Aku menghampiri lemari es. 

Dini mendahuluiku dengan wajah lesu. Aku sudah menduga bahwa persediaan makanan yang dibagikan oleh pak RT tidak menunggu sebulan. Kokora sepupuku yang memiliki gangguan pendengaran menjadi urusan baru bagiku. 

"Din, boleh ke rumah pak RT?"

"Silahkan, kalau mau!"

"Maksudku, kamu yang ke sana..."

"Ya, gak mau."

Aku tidak menyangka perempuan yang sudah berusia 18 tahun ini selalu membantahku. Terlebih hak sulung di rumah seperti tiada berarti tanpa orang tua yang meyakinkan bahwa aku lebih tua darinya. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah teman-teman sekolahku yang dulu. 

Sebenarnya niatku untuk menjemput segelas kopi dan sepiring gorengan yang disajikan untuk tamu. Di musim kemarau yang panjang penghasilanku merosot. Aku tidak seharusnya memutuskan untuk undur diri dari pekerjaan. 

Namun, kulit ditubuhku tidak tahan dengan hawa panas. Aku mengendarai sepeda dengan perasaan bersalah meninggalkan Dini kelaparan di rumah dengan Kokora. 

"Azsal"

"Hei.. kamu.."

"Iya, bro. Lagi ngapain?"

"Benerin ini, kabelnya rusak. Ga kerja?"

"Risiko albinisme harus selalu berteduh."

"Iya juga kasihan kamu, udah makan?"

Aku sudah menduga bahwa segelas kopi dan sepiring gorengan menyambut kedatanganku bertamu di rumah Azsal. Aku mengakui bahwa perutku sangat lapar, syukur Azsal yang memulai duluan. Bukan seperti biasanya, kali ini Azsal tidak menyediakan gorengan. Sekaleng biskuit rasa coklat mampir ke dalam tubuhku. 

Pesannya cukup menantang hingga aku tak tega menghabiskan semuanya. Setelah menyeduh kopi aku membantu Azsal memperbaiki kabel TV yang tak kunjung usai disambungkan. Pernah aku menjadi tukang sevice kabel di salah satu perusahaan swasta. 

Namun, nasib sial tidak dapat dihindari. Kabel yang dikerjakan oleh rekan kerjaku berimbas pada kerugian besar akibat kesalahan pemasangan. Hal itulah yang membuat aku mencari pekerjaan yang baru. 

"Sal, boleh ga aku membawa biskuit itu ke rumahku?"

Azsal tertawa pertanda meledekku. Aku tidak dapat menahan wajahku yang merah seketika. Azsal menepuk pundakku dengan sentuhan sahabat yang kenal sejak lama.

"Sejak kapan kamu jadi begini?"

Aku berterus terang, Dini belum makan sejak pagi. Persediaan makanan di rumahku sudah habis. Bantuan dari pak RT tidak selalu sesuai prediksi yang ditafsirkan. Aku juga menceritakan kekalutanku terhadap Kokora yang telah dititipkan untuk menjadi tanggunganku. Azsal memanggil adiknya yang ada di warung. Aku melihat ia membisikkan sesuatu.

"Sal, maaf membuatmu terbeban."

"Santai, bro. Aku pikir kau hanya bercanda padaku.."

Aku melihat dua kaleng biskuit rasa coklat dibungkus dalam kresek. Aku pamit dengan Azsal sembari menitipkan salam dan ucapan terima kasih untuk keluarganya. Setibaku di rumah, Kokora dan Dini menikmati biskuit kaleng.

"Din, dapat dari mana?"

"Tuh, Pak RT bagi lagi bansos."

Aku merasa bersalah terhadap Azsal, ternyata bantuan sosial milik mereka disumbangkannya untukku. Aku dan Azsal memang berbeda RT tetapi bantuan yang kami terima adalah bantuan yang sama. Kokora menikmatinya dengan lahap.

"Rizu, ini kali pertama saya makan biskuit rasa coklat. Rasa vanila ada ga?"

Dini menepuk jidatnya. Aku berlalu sembari menyerahkan dua kaleng pada Kokora "Cek aja sendiri!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun