Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bukan Fatamorgana, Misteri Seikat Bunga

9 Juni 2020   07:30 Diperbarui: 11 Juni 2020   20:12 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai dengan halaman yang baru. 

Chapter 1, cahaya langit menyilaukan mataku. Keringat membasahi tubuhku. Di masa pandemi, targetku menurunkan massa tubuh yang tidak terjaga asupannya. Mata yang terang melihat cahaya memeluk jalanan. Berlari menuju komplek rumahku. Di seberang jalan kutemukan sepasang kekasih. 

Saling berpandangan seperti rayuan masa muda. Tidak kalah kaget kudaratkan mataku kepada sepasang tua tersebut. Aku pernah bertemu dengannya. Saat ini aku benar-benar lupa di mana. 

Sambil merenungkan perkenalan yang mungkin pernah terjadi antaraku dengan mereka. Pandanganku buram. Cahayanya menjadi gelap. Anak-anak berlari dalam dua bayang yang samar menjauhiku. Sepasang tua itu menghampiriku mungkin saja aku telah terkapar di tanah. 

Chapter 2, HPku berdering berulang kali. Kupegang saku celanaku, kembali aku merogoh jaketku. Itu bukan milikku. Dering yang sama dengan dering milikku juga digunakan oleh orang lain. 

Aku terlalu percaya diri mengklaim bahwa aku yang dapat memasang dering HP seperti itu. Namun, rasaku ada benarnya. Laki-laki yang seakan-akan memiliki dering yang sama di HPku membuntutiku. Ia berkata dengan nada yang sangat halus dan lembut padaku.

"Permisi dek, apakah ini HPmu?" Aku terkaget setengah mampus. Laki-laki ini menemukan HPku tergeletak di jalan. Ia berinisiatif mengejarku karena melihat ada gambar yang mirip dengan foto yang kuletakkan di casing Hpku. 

Dengan menunduk dan malu aku menyampaikan terima kasihku padanya. Ia memang tidak semuda denganku, tetapi jiwanya melebihi jiwa kaum muda seusiaku. 

Zaman pandemi, urusan ekonomi menjadi urusan yang pertama, sedangkan moralitas menjadi opsi belakangan. Prinsip yang berbeda kutemukan pada laki-laki ini, meskipun ia telah mirip ayahku yang berusia 45 tahun ia masih mengutamakan kejujuran serta kepedulian, inilah yang ingin kusebut moralitas jiwa muda. Integritas yang tidak dimiliki semua orang.

Chapter 3, kutemukan seorang tua yang kehilangan dompet memperlihatkan wajah kusutnya. Ia seperti sangat menginginkan kaos yang ingin kubelanjakan di hari itu. 

Ia masih mengacak-acak rambutnya dan memaksa pikirannya menemukan hal yang hilang baginya. "Permisi pak, ada yang bisa saya bantu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun